Laman

Rabu, 18 Mei 2011

Di Dentang 12 Siang

Oleh: Sb. Rahma

Aku merasa ada yang mengawasiku sedari tadi. Berkali-kali ku longokkan kepala ke kanan-ke kiri, tetap tak ada yang mencurigakan. Di café tempatku makan ini kulihat hanya ada sepasang ibu-bapak dengan kedua anak mereka, beberapa pasang muda-mudi, dan sekelompok cowok berseragam sekolah. Mereka tak tampak mencurigakan.
Aku jadi kikuk sendiri. Maklum, hanya aku yang duduk tanpa seseorang di sampingku. Selebihnya, mereka yang datang selalu ada yang menemani. Akh, mungkin aku memang perlu ke toilet untuk mengurangi perasaan was-was ini.
Begitu kembali dari toilet, kembali mataku dikejutkan oleh secarik kertas di bawah gelas jus ku. Sebuah memo.
Besok jam setengah delapan pagi aku akan mampir kerumahmu.
Ada sedikit kejutan kecil yang ingin ku berikan, special for you…
Your Mr. X
Your Arjuna, si pengirim memo ini. Tapi siapa? Aku tak mengenali inisial ini. Tapi memang dulu saat SD aku sempat memiliki sahabat karib bernama Arjuna. Mungkinkah itu dia? Tapi mengapa tak menemuiku dan hanya mengirimkan memo pendek ini. Atau Arjuna yang lain?
Aku sibuk memikirkan siapa sebenarnya pengirim memo itu. Hingga malam menjemput, rasa penasaranku belum juga sirna. Aku jadi ingin hari cepat berganti esok.
Dan jam menunjukkan setengah delapan pagi seperti isi pada memo itu. Malam mengalir penuh prasangka-prasangka. Seperti Dewi Fortuna yang mendekap malam dalam pekat tak teruraikan.
***
Aku masih ingat saat SD dia selalu memanggilku ‘Honey’.Dengan tatapan tajamnya yang membius itu, dia menatapku lekat-lekat,
“ Honey, ikut aku yuk…”Hanya ajakan itu yang ingin ia ucapkan, namun jantungku sudah deg-degan tak karuan. Jika kalimat itu meluncur dari bibir mungilnya, maka pasti tempat tujuan kami adalah sebuah bendungan terbesar di kotaku, bendungan Wonorejo.

Ya, Arjuna.
Cowok yang saat ini berdiri di depanku tak lain adalah Arjuna, sahabatku sejak SD dulu. Dia jugalah yang mengirimkan memo di mejaku kemarin siang. Masih sama. Arjuna yang tampan, atletis, dan cool. Hanya, sekarang ia terlihat lebih tinggi, mungkin sekitar 170 cm. Padahal dulu saat SD tinggi badannya hanya selisih satu jengkal denganku. Ah…Arjuna. Ia pasti akan terlihat begitu ideal jika tak secuek itu pada cewek.
Sayang, sifat galaknya pada cewek-cewek tak bisa diobati sampai detik ini. Ia hanya akan bersikap baik pada cewek yang ia kenal secara baik. Dulu waktu SD, seorang cewek di kelasku pernah meminjam raket bulu tangkisnya. Aku tahu dia sudah izin, tapi mungkin Arjuna tak mendengarnya, sehingga…
“Shittt!! Bisa nggak sih ngomong dulu sebelum pinjem ?!” Dengan kasar ia membuang raketnya tepat kearah cewek itu, dan tak pernah menggunakan raket tersebut selamanya.
Ku pikir mungkin sifat itu muncul karena ia tak pernah tahu bagaimana seharusnya bersikap pada seorang cewek. Maklum, kelima saudaranya laki-laki semua, pandhawa lima kata orang jawa.
Hari ini dia mampir kerumahku setelah kemarin ternyata dia memperhatikanku saat makan siang di sebuah café. Dia juga ada di gerombolan cowok berseragam yang kemarin memang sempat kulihat di pojok café. Saat mula-mula ngobrol dengannya pembicaraan kami terasa sangat kikuk. Lantaran semenjak lulus SD, aku dan dia hampir tak pernah bertemu. Namun semua berubah ceria ketika kami bernostalgia pada masa-masa SD dulu. Obrolan kami jadi segar dan mengalir lancar. Aku teringat saat-saat terindah menjelang perpisahan sekolah. Waktu itu di acara tasyakuran kelulusan, Arjuna membuat cewek-cewek yang menaksirnya cemburu berat. Padahal itu hanya akal-akalan dia saja agar tak ada yang mengganggunya saat ia sedang makan. Tahu apa yang ia lakukan? Arjuna menyuapiku! Duh…walaupun dia tahu aku sangat malu, tapi dia tetap saja menyuapiku hingga nasiku habis.
Sahabat…dia adalah sahabat terbaikku kala itu. Arjuna tak pernah melukai perasaanku seperti ia melukai perasaan cewek-cewek lain. Ia begitu menjaga sahabatnya. Seperti menjaga barang yang paling berharga di dunia. A sweet memories…Dan saat ini,
“Honey, kita kan udah lama banget nggak jalan-jalan bareng nih…And now, I’ve prepare a special thing for you…” Katanya sembari menatapku lurus. Aku kembali ber dag, dig, dug. Jarak kami begitu dekat!
“ Apa itu?” Tanyaku was-was.
“Udah…pokoknya kamu nggak boleh lepas tutup mata ini…” Ia menutup mataku dengan selembar slayer yang dilipat beberapa kali.
“ Juna…Arjuna apa-apaan sih. Lepasin dong…Mau apa nih?” Rengekku, meronta.
“Pssttt...! No comment, Ok? Ikuti aja. Yang jelas aku nggak bakal nyakitin kamu kok…” Hibur Arjuna.
Ia memapahku menaiki sepeda motornya. Dan deru sepeda motor Arjuna sedikit demi sedikit mulai berderak meninggalkan pekarangan rumahku. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya fikiranku menerka kemana aku akan ia bawa. Tiba-tiba…
“ Juna!!!” Pekikku.
“ Honey, pegangan dong! Ntar kamu jatuh gimana coba?!” Seru Arjuna tak kalah histeris.
Hampir saja tubuhku terpelanting dan jatuh dari sepeda motor. Nafasku tersengal-sengal, berantakan tak karuan. Aku merasakan jalan yang kini kulalui mulai penuh dengan tanjakan dan tikungan-tikungan tajam. Duh, Arjuna…sebenarnya mau kemana ini? Batinku dalam hati. Sementara udara dingin pun juga mulai meresap ke pori-pori kulitku. Tak kudengar bising sama sekali, senyap dan sepi. Mungkinkah…
“ Nah, udah nyampe’, honey. Ayo turun…” Kata-kata Arjuna membuyarkan lamunanku.
Samar-samar ku dengar suara air tertiup angin yang lumayan kencang. Di kejauhan ku dengar pula suara air mengalir deras, seperti sengaja dihentakkan keras-keras ke suatu bejana. Arjuna menyentuhkan tanganku ke suatu pegangan.
“ Oke siap…3…2…1…”
Wuuuwsshh….
Ikatan yang menutup mataku terbuka. Angin sepoi-sepoi menamparku lembut. Hamparan bendungan yang luas bak pesisir kidul itu membuat mataku berbinar gembira. Inilah, tempat yang begitu jarang kusinggahi semenjak aku lulus dari SD. Seluruh kenangan bersama Ratih, Amel, dan Arjuna terekam disini. Kami adalah empat bersahabat yang saling menguatkan dan mendukung satu sama lain. Semua itu menghiasi lembar-lembar memoriku. Begitu kuat mengakar dalam otakku.
“ Honey, tau nggak, waktu kamu sekolah SMP di Bandung, kalau aku ada masalah, pasti larinya ke bendungan ini. Aku sering ngliatin airnya yang tenang. Seperti perasaanku yang selalu tenang saat ada di deket kamu. Rasanya aku nggak bisa menghapus bayang-bayang waktu aku dan kamu kejar-kejaran disini, makan bakso bareng, mancing, keliling bendungan pakai motorboat, hepfft…” Mata Arjuna menerawang jauh. Menilisik tiap jengkal aliran air di bendungan ini. Diantara empat sahabat itu, memang Arjuna lebih dekat dengan aku daripada dengan Amel dan Ratih. Aku bisa merasakan ia sangat menyayangiku.
Bendungan ini…begitu kokoh. Hanya saja lama-kelamaan bendungan kecil dimataku tak bisa menahan airnya. Air mataku mengalir tanpa ku sadari. Menetes deras membasahi pipi.
Aku benar-benar ingat, ketika dulu aku terkena fitnah mencuri oleh Rina dan kawan-kawannya. Tak ada yang mempercayaiku, teman-temanku menjauh satu persatu. Aku merasa dunia begitu kejam padaku. Padahal aku sungguh tak pernah melakukan perbuatan sehina itu. Rina melakukannya, agar guru-guru mnyudutkanku. Ia iri karena wali kelasku sangat menyayangiku kala itu.
Dan Arjuna, dia datang menyandingku. Mengatakan bahwa ia tak akan pernah percaya pada fitnah itu. Arjuna mengajak Ratih dan Amel untuk menghiburku. Bersama, kami pergi ke bendungan. Menghilangkan segala penat dan gelisah. Menuangkan kesedihan kami dengan makan bakso bersama.
Ya tuhan…Itu masa-masa awal kesulitanku. Sahabat-sahabat kecilku itu, mereka layaknya kunang-kunang yang menemaniku dalam kegelapan. Menghiburku dengan sinar keemasan mereka, hingga aku menemukan jalan untuk kembali pulang ke rumah.
“ Honey…” Arjuna membuyarkan lamunanku.
“ I…Iya, Juna…” Sahutku gelagapan. Cepat-cepat kuhapus air mataku. Tapi dengan sigap pula Arjuna menghalaunya. Jemarinya yang hangat, menyeka air mataku sembari berkata pelan,
“ aku nggak mau Honey ku menangis kayak gini. Aku pengennya Honey ku selalu tersenyum, ceria, dan semangat. Bisa kan?” Mata Arjuna lurus menatapku. Mengurungku dalam tatapan teduhnya.
Aku mengangguk.
“ Senyum dong kalau gitu…” Bujuknya lagi.
Kurekahkan bibirku meskipun sebenarnya terlalu sulit.
“ Arjuna, kok kamu nggak ngajak Amel sama Ratih,sih? Aku pengen kita bisa ngumpul bareng kayak dulu lagi…” Kataku kemudian. Karena setelah kucermati, Arjuna tak pernah menyebut nama kedua sahabatku itu.
Seketika, Arjuna melempar pandangannya ke bendungan. Ia seakan tengah menyesali sebuah hal.
“ Nggak perlu! Mereka sombong, udah nggak mau kenal sama kita lagi. Mentang-mentang udah masuk SMU favorit, jadi lupa sama sahabatnya sendiri!” Terang Arjuna pendek. Jelas sekali nada suaranya penuh mengandung kebencian.
“ Tapi gimanapun juga kan mereka temen kita. Nggak mungkin mereka nggak ngenalin kita…” Kilahku.
Arjuna menatapku. Aku melihat api dimatanya membara.
“ Temen? Temen macam apa kalau tega biarin temennya mau mati kehabisan oksigen?! Mereka justru ketawa cekikikan emangnya lucu?!” Kata-kata Arjuna sangat menjelaskan betapa ia kecewa dengan persahabatan yang selama ini kami jalani.
“ Kehabisan oksigen, Juna?” Tanyaku memastikan.
Arjuna mengangguk. Ternyata cafeteria sekolahnya dulu pernah terbakar. Arjuna melihat seorang guru terjebak di sana. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menolongnya. Namun sial, ia justru terjebak kobaran api. Ia nyaris saja terbakar. Arjuna pingsan setelah oksigen disekitarnya seolah terasa habis. Ketika itu ia sempat melihat Amel dan Ratih yang memang satu sekolah dengannya tertawa melihat kondisinya yang sangat tak berdaya itu. Sejak itu, Arjuna tak ingin lagi kenal mereka. Ia teramat kecewa. Apalagi Arjuna tipe cowok yang cepat menangkap kesan di sikap pertama.
Aku tak percaya mendengar cerita Arjuna. Sepertinya tak mungkin jika Ratih yang begitu lemah lembut tiba-tiba berubah menjadi sebegitu tega melihat sahabtnya terluka.Juga Amel yang selalu menghibur kami dulu. Tanpa dia tentu persahabatan kami terasa sangat hambar dan tak berwarna. Benarkah semua telah berubah sealir perkembangan zaman? Tapi bukankah persahabatan tak mengenal pergantian apalagi hanya soal perbedaan sekolah?
“Udah ah, males bahas mereka lagi…” Arjuna Kembali membuyarkan pikiranku yang mengelana. Mencoba menelusuri kebenaran diantara kami.
“ Hmm…ya udah. Aku nggak akan bahas masalah ini lagi”Sahutku meski masih sedikit tak percaya.
“So, sekarang kita mau ngapain nih?” Tanyaku kemudian. Sebisa mungkin kucoba mencairkan suasana yang kurasa mulai menegang ini. Dan benar, Arjuna tersenyum lantas mengajakku ke tepi bendungan. Ia memesan dua tiket untuk mengelilingi bendungan dengan motorboat.
“Ok Honey, aku siap jadi Popeye” Kelakarnya bahagia sembari menirukan gaya tokoh kartun tersebut.
Aku senang melihat senyum dan semangat Arjuna kembali seperti sediakala.
“Hmm…kamu jadi Olive nya, ya?” Tambahnya masih bercanda.
“ Ha, aku?” Tanyaku memastikan.
“Iya kamu, Honey…mau kan?” Ia masih cengar-cengir.
“ Oke lah…” Sahutku akhirnya.
Motorboat kami meluncur membelah air bendungan. Udara disekitar bendungan ini sangat segar, meskipun matahari amat terik bersinar. Disana-sini pegunungan tertata rapi membentengi kawasan bendungan. Pepohonan pinus yang tumbuh subur di tepinya semakin memanjakan setiap mata yang memandangnya.
Aku dan Arjuna terus terlibat obrolan-obrolan ringan yang damai. Sedamai suasana hati kami saat ini.
“ Honey, hari ini kan hari Valentine…”
“ What, Valentine? Bener?” Tanpa sadar aku memotong kalimat Arjuna.
“ Lho, baru nyadar?”
Aku mengangguk, masih tak percaya.
“ Duh, baru tidur abadi, nih? Sampai-sampai nggak sempet liat kalender…”
“ Arjuna, aku nggak perhatian sama kalender kalau lagi liburan gini…” Jelasku.
Arjuna menghela nafas panjang.
“ Oke, jadi hari inikan hari Valentine, aku nggak bisa kasih kamu sesuatu kayak coklat, boneka, souvenir cantik, atau apalah itu sebutannya. Buat aku itu udah terlalu biasa. And…kado Valentine ku kali ini buat kamu adalah…” Sampai disitu kalimat Arjuna terpotong.
Air mukanya berubah serius. Ia seperti tengah mempersiapkan sesuatu yang terlalu sulit untuk bisa dikatakan.
“ Valentine kali ini, ku berikan hati aku sepenuhnya ke kamu, Honey. Aku harap kamu bisa menerimanya, hari ini…” Tatapan mata Arjuna lurus mengarah pada kornea mataku.
Dari sinar matanya itu kemudian kutemukan rongga ketulusan yang begitu dalam. Cepat-cepat kualihkan pandanganku. Melirik jarum jam tangan milik Arjuna, tepat pukul 12 siang. Kondisi batinku persis layaknya sinar matahari yang tepat mengenai ubun-ubun ku, bergemuruh hebat. Aku sangat menyayangi Arjuna. Sepenuh hati, setulus jiwa. Dia juga tampan, berprestasi dalam olahraga, dan sangat baik padaku. Tapi, sampai detik ini perasaanku pada Arjuna hanya sebatas rasa sayang sebagai seorang sahabat. Aku menikmati hubungan kami saat ini, tanpa ingin ada yang lebih dan special.
Dulu aku memang terlalu sering mendengar Arjuna berkata, “ I love you, Honey”. Saat itu aku menganggap ia sedang bercanda, bagiku itu adalah sebagian dari lawakannya. Hanya saja saat ini sepertinya lain. Dia bukan mencintaiku sebagai sahabat lagi. Dia mencintaiku layaknya seorang pria dewasa pada wanita dewasa.
Lidahku kelu. Suara Arjuna terdengar samara di telingaku. Sepertinya dia sedang meminta aku menjawab. Ya Tuhan, Bagaimana ini? Jika aku menolaknya, pasti ia akan sangat terpukul. Arjuna belum pernah pacaran sekalipun. Aku tahu hatinya tak akan terima jika aku menolaknya.
“ Juna…Aku ingin bersahabat selamanya sama kamu. Kamu tahu, bagiku persahabatan itu lebih indah dari apapun. Persahabatan akan abadi selamanya dan tak lekang oleh zaman. Kamu mengerti kan maksud aku…?” Akhirnya kujawab dengan sebuah gambaran kecil tentang persahabatan.
Arjuna menunduk dalam-dalam. Terdiam tak mengucap suatu kalimat pun. Berkali-kali ku dengar ia menghela nafas berat. Tuhan… Apa aku gadis yang paling kejam sedunia? Aku tak mau melihat Arjuna bersedih seperti ini gara-gara aku. Namun aku juga tak bisa melanggar prinsipku sendiri.
“ Honey…” Lirih Arjuna kemudian.
“ Ya” Sahutku cepat.
Ia masih menundukkan wajahnya.
“ Ini Valentine terindah, Honey…Aku tahu kamu akan mengatakan hal itu. Meskipun berat dan sakit rasanya, tapi aku percaya apa yang jadi keputusanmu, berarti itu yang terbaik buat kita. We’re Friendship forever, iya kan…?” Arjuna tersenyum sambil menatapku pilu. Kesedihan begitu tampak di matanya.
“ Juna…” Aku tak tega melihat ekspresinya yang demikian sendu. Ingin rasanya saat itu aku menangis di depannya. Tapi entah mengapa air mataku mendadak terasa kering.
“ Nggak papa kok, Honey…I’m Okey. Kamu nggak usah ngrasa bersalahsama aku gitu.Coz, Aku tahu kok kalau sebenarnya kamu itu cinta sama aku. Cuma, cinta kamu dalam bentuk yang lain, yakni cinta sebagai seorang sahabat, gitu kan?” Terlihat Arujna berusaha keras menghapus kegundahan jiwanya.
Aku teridiam tak tahu harus bagaimana sekarang. Tentu pertanyaan Arjuna itu hanya untuk menghibur dirinya saja. Jiwanya, aku yakin masih begitu terluka.
“Honey…” Ia memastikan aku mendengarkan pertanyaannya.
Aku tergagap.
“ I… Iya, Juna. That’s right. We’re Friendship now, tomorrow, and forever” Tandasku mantap.
Kami tersenyum. Menatap bendungan dengan sebuah senyuman abadi. Senyum sepasang sahabat yang tak pernah berhenti menyayangi satu sama lain. Arjuna, walau mungkin hatimu perih, sukmamu terkoyak, aku menghargai perasaanmu yang telah begitu tulus mencintaiku. Aku tahu, untuk menyatakan kalimat itu saja, tentu kamu membutuhkan banyak waktu. Kamu membutuhkan persiapan yang panjang. Aku sangat menyayangimu sobat. Sampai detik aku menulis goresan in, aku masih teramat menyayangimu. Sebagai seorang sahabat, selamanya… Aku jadi teringat satu syair lagu yang begitu mewakili perasaan hati kami saat ini. Meski cinta telah hilang, namun sahabat kan selalu ada disamping kita. Dan tak akan pergi walau sampai tua nanti. Aku akan selalu mengingat kebersamaan kita ini, Arjuna…

Biarkan saja kekasihmu pergi
Lanjutkan saja mimpi yang tertunda
Kita temukan tempat terindah, sahabatku…

- Selesai -

Kamis, 05 Mei 2011

Tasbih Di Penghujung Siang

Sakura mendadak jatuh dalam dekapan Shiwa
Kadang menjelma layaknya Gayatri muda
Mencengkeram sekelumit lara hati sang dara
Kau itu…
Kau kejam sekali!
Menusukku dengan pedang asmaramu
Menyayat-nyayat kalbuku semau perutmu!
Jadikan luka baru bernama ‘Rindu’
Kapan kau mengobatinya? Kapan?!
Siang malam buliran dzikir kurapalkan
Mengaharap tuhan mau mendengarkan
Tentang gelisah dalam relung terdalam
Kemana Kau?!
Kenapa diam saja tak mau menjawab?
Apakah dusta itu akan terus kau lanjutkan?
Menafikkan perasaan yang berkobar didadamu
Demi kehormatan dan nama besarmu
Aku tahu tetes cinta itu juga mengusik mimpi malammu
Tapi kau tak mau menyapanya
Nanti kau akan tahu
Saat aku terlalu jauh dari gapaian tanganmu
Dan kau kan rapalkan pula dzikir pada tuhanmu
Dengan tangis penuh harap
Agar tuhan mendengarkan pintamu


Dari suasana hati biru Sb.Rahma
Purwosari, 19 Maret 2011

Rabu, 27 April 2011

DoReMi 1

DO
Ketika Do, air mataku tak kuasa lagi
Deraian yang tak kunjung henti
Lantaran cinta kumiliki dengan sepenuh hati
Dalam Do kumengerti, cinta tak selalu memiliki
RE
Re mengajariku tanpa ada batasan
Cinta tak mengerti batas negara
Sebab bagaimana cinta tak kuberikan dengan hati
Mi
Kala Mi menyapaku, hatiku tlah kuyu
Menahan luka perih sebab Do
Mi mengerti diriku yang rapuh dan luluh
Kutahu Mi malaikat akhir itu
Maka Mi mencoba kekuatanku
Seberapa tangguhkah DOREMI cinta
Hadapi ujian-ujian cintanya
DOREMI
Kisah cintaku hiasi nada-nada
Mengenal sari pati hidup dalam sua yang lama
Hanya di DO dan MI ku mengerti
Makna cinta yang rapuh namun utuh
Hati yang sepenuhnya kulabuhkan cinta
Seperti layar-layar dalam sentuhan gurindam malam
Mengikuti alunan sabda tuhan nan hakiki
Ku yakini dalam hati ini
Sekuatnya tak kan ada lagi untaian nada selanjutnya
Karena kumengerti, tuhan menuntunku saat ini
Seperti cinta yang terkadang terlalu rumit

DoReMi 2

Ditahbiskan ini, diartikan itu
Hanya hati yang mampu beri jawab
DO
Dalam Do kuakhiri, senja dalam hatiku
Tak kan lagi ada….
Keyakinanku dalam mencintai
Seperti kulit dan tulang yang kukuh
Sebab mencintai serupa konsekuensi
Hanya DO dan MI yang fahami
Lantaran RE hanya ia mencintai tanpa kucintai
Namun RE mengajariku
Bagaimana cinta tanpa batas yang menghalangi
Bahwa cinta kan menemukan kekuatannya
DOREMI
Selaksa skenario tuhan dalam labirin kehidupan
Tuhan, cita dan cinta…
Ketiga aspek yang buatku bertahan hingga
Puluhan realita ini menghujamku
Menusuk serupa jarum-jarum pengait
Mencoba seberapa tangguhkah aku…
Ku yakini, cinta ini sepenuhnya
Dalam sabda tuhan sebagai penuntunku…



Purwosari, 12 juni 2010
Dari suasana hati Sb. Rahma

Teka-teki Hati

Aku merpati yang tiada angkasa
Tuk terbang dalam tetapan masa
Bunga yang tak miliki tanah
Tuk berakar di satu daerah
Kali ini gerbangku tertutup
Frekwensinya melemah pendek
Teri basi, angka hoki, kotak mati, merak hati!
Teka-teki apalagi?
Kadang dunia jadi sangsi
Hanya karena aku butuh kata sendiri
• Dalam kotak mati irama terpati
• Untuk angka hoki jelmaan iblis belibis
• Bahwa teri basi kadang begadang
• Lantas bagaimana ada merak hias hati?
Adakah yang lebih phobia dariku?
Tentang hidup berjuta perih sembilu
Tapi aku masih berdarah merah
Beruntung aku tanpa luka tercabik lebar
Dari besi karatan berbara tajam
Ingin, seribu tekadku menciumi mereka
Yang kulitnya merah berbalut nanah
Kepala bopeng-bopeng dihantam missiu
Fosfor putih menyedot daging-daging suci
Kalahkan roti kudus yesus dipagi rohani
Aku….
Merpati tiada angkasa
Bunga tanpa daratan
Namun hidup masih berjalan…
Purwosari, 5 Maret 2009

Ekpresi ‘A’

Rellora…Rellora…Rellora…!!
Kedai kecil ditepi bukit sangkar bumi
Diterpa bising tak bertepi
Jauh menyiar peluh tatanan angkuh
Rellora menyeka tangis tentang aking
Dan kedai pun tergulung tanah besi hilang hati
Rellora…Rellora…Rellora…!!
Dipeluk kantong-kantong duka
Duduk-Tidur-Makan bahakan kencing!
Hanya menatap kentucky sambil menggenggam aking
Menatap Sophie Martin seraya berlenggak-lenggok
Dengan menjinjing tas kereseknya
Ia bermimpi…
Jadi artis seperti di TV
Berlari ia tanpa letih
Kembali masuk kedai
Ia jadi artis
Dalam dentum musik cord
Dugem istilah magicnya
Rellora…Rellora…Rellora…
Tenggelam diantara gelap kedai
Tak tersibak tabir batinnya
Asal ia jadi artis
Dari kedai, karena kedai, termakan kedai
Bukan salah ia begitu…
Ia hanya korban…

Pengamatan Sb. Rhma
Purwosari, 11 Maret 20010