Laman

Kamis, 25 November 2010

Masa depan energi NukliR

Ian Facer, Sekretaris Ilmiah pada ‘Konferensi Internasional tentang Lima Puluh Tahun PLTN--Lima Puluh Tahun Berikutnya’ yang diselenggarakan pada 27 Juni-2 Juli 2004 di Moskow (dan Obninsk), Rusia.

Dua puluh dua dari 31 PLTN baru yang siap disambungkan ke jala-jala listrik Dunia telah dibangun di Asia, yang digerakkan oleh pertumbuhan ekonomi, kelangkaan sumber daya alam dan peningkatan pertumbuhan penduduk. Dari 27 PLTN-PLTN baru yang saat ini sedang dibangun, 18 berada di Asia, sementara perkembangan mengalami pelambatan di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara dengan program energi nuklir yang pasif, menurut Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).

IAEA melaporkan bahwa meski empat negara Eropa Barat telah memutuskan untuk menutup PLTN mereka, masa depan energi nuklir di Eropa dan Amerika Utara masih jauh dari cerah, selama suatu periode ketika kebutuhan energi dan keprihatinan terhadap pemanasan global keduanya sama-sama meningkat. Baru satu PLTN baru yang sedang memulai proses pembangunannya di Eropa Barat. Belum ada PLTN baru yang direncanakan di Amerika Utara, meskipun hal itu dapat berubah sangat cepat.

“Makin kita melihat ke masa depan, makin kita mengharapkan negara-negara untuk dapat mempertimbangkan manfaat-manfaat potensial dari pengembangan energi nuklir yang dapat disumbangkannya pada lingkungan global dan pada pertumbuhan ekonomi,” kata Mohamed ElBaradei, Direktur Jenderal IAEA, di hadapan 500 ahli energi nuklir yang berkumpul di Moskow dalam Konferensi Internasional tentang nuklir yang bertajuk “International Conference on Fifty Years of Nuclear Power - the Next Fifty Years” (27 June - 2 July).

“Keputusan untuk mengadopsi nuklir tidak dapat dibuat pada basis ‘satu ukuran untuk semua’,” tambah Dr. Elbaradei, “PLTN-PLTN baru adalah paling atraktif ketika kebutuhan energi bertumbuh dan sumber-sumber alternatif pun langka, dan ketika keamanan energi nuklir dan pengurangan polusi udara serta gas-gas rumah kaca menjadi prioritas utama. Meski ada beberapa negara belum mempertimbangkan energi nuklir dalam penganekaragaman energi mereka oleh karena keprihatinan terhadap keselamatan dan limbah nuklir.”

Konferensi membahas status dan masa depan energi nuklir 50 tahun setelah energi nuklir pertama kali ‘masuk jaringan’ listrik, dari sebuah pembangkit dekat Moskow pada 26 Juni 1954 silam.

Prospek Nuklir dalam Jangka Pendek dan Panjang

Para ahli IAEA menerbitkan proyeksi berkala tentang keluaran energi nuklir di masa depan dan bagaimana kalau dibandingkan dengan jumlah daya listrik yang dihasilkan dari sumber-sumber konvensional, berbahan-bakar fosil dan sumber-sumber alternatif. Namun, karena proyeksi ini bergantung pada keputusan-keputusan politik yang belum dilakukan di beberapa negara, IAEA membuat proyeksi ‘tinggi’ dan ‘rendah’.

Proyeksi ‘rendah’ mengasumsikan bahwa PLTN saat ini akan pensiun sesuai jadwal, dan tidak ada yang baru yang akan dibangun selain yang sedang dalam pembangunan atau yang sudah direncanakan. Menurut proyeksi ini, jumlah listrik nuklir yang dihasilkan, dalam kilowatt-jam, akan terus bertambah hingga 2020, namun akan tumbuh secara lebih lambat dibanding sumber-sumber listrik lain. Akibatnya, sumbangan nuklir pada listrik dunia akan turun dari 16% saat ini menjadi 12% pada 2030.

Proyeksi ‘tinggi’, yang memasukkan proposal-proposal tambahan yang beralasan bagi pembangunan PLTN baru, memperlihatkan ekspansi yang mantap. Pada proyeksi ini, energi nuklir akan membangkitkan 70% lebih listrik dunia pada 2030 daripada 2002, namun pembangkitan listrik total dari semua sumber akan tumbuh jauh lebih banyak.

Namun proyeksi yang jauh lebih kontras datang dari tinjauan analisis jangka panjang Panel Antarpemerintah pada Perubahan Iklim (IPCC-Intergovernmental Panel on Climate Change), Badan Energi Internasional (IEA) dan lain-lain. Ketimbang hanya menarik trend sebagaimana adanya, analisis jangka panjang telah menghitung energi total yang diperlukan untuk meningkatkan standar hidup di seluruh dunia untuk populasi global yang sedang bertumbuh. Mereka juga memperhitungkan menyusutnya sumber-sumber bahan-bakar fosil dan menyandarkan lebih pada apa yang optimal secara ekonomi dalam jangka panjang dan kurang pada status-quo sosio-politik saat ini. Dengan memperhitungkan faktor-faktor ini, estimasi rata-rata, berdasarkan analisis IPCC, energi nuklir akan meningkat 2,5 kali pada 2030, ekivalen dengan 27% produksi listrik total. Pada 2050, estimasi rata-rata dari analisis jangka panjang adalah bahwa energi nuklir akan melipat-empatkan output totalnya. Perpektif jangka panjang dengan demikian memberikan peran yang lebih besar pada nuklir daripada dalam perpektif jangka pendek.

PLTN saat ini: Bergeser ke Timur

Energi nuklir menghasilkan 16% (kira-kira seperenam) listrik dunia. Ada 442 PLTN yang beroperasi di 30 negara. Sebagian besar PLTN beroperasi di Eropa Barat dan Amerika Utara, namun sebagian besar PLTN baru yang sedang dibangun adalah berada di Asia. PLTN-PLTN yang berada di seluruh dunia, kini telah menjadi lebih produktif, dengan menambahkan kapasitas pembangkitan tanpa pembangunan PLTN baru.

Amerika Serikat memiliki paling banyak PLTN dengan jumlah 104. Lithuania mendapatkan 80% listriknya dari nuklir, paling tinggi di dunia. Perancis berada di tempat kedua, dengan angka 78%. Hanya 39 dari 442 PLTN dunia yang berada di negara berkembang, dan karena mereka lebih kecil dari rata-rata, mereka mencatat hanya 5,6% kapasitas nuklir dunia. Namun Brazil, Cina dan India semuanya memiliki program PLTN. Tiga negara ini mencakup 40% populasi dunia, dengan Cina dan India khususnya merencanakan ekspansi nuklir yang signifikan.

Delapan belas dari 27 PLTN yang kini sedang dibangun berada di Asia. Dua puluh dua dari 31 PLTN baru terakhir yang akan mulai beroperasi juga berada di Asia. Di urutan kedua dalam pengertian pembangunan baru berada di Eropa Timur, termasuk Rusia, dengan 8 PLTN sedang dibangun. Empat negara Eropa Barat —Jerman, Belgia, Belanda dan Swedia—baru-baru ini mempunyai kebijakan phase-out nuklir, dan yang lainnya melarang nuklir. Namun yang lain secara eksplisit telah mengakui arti nuklir. Bulan Mei lalu, misalnya, para pemilih Swiss telah menolak referendum phase-out dengan dua banding satu. Bahkan pembangunan segera akan dimulai pada sebuah PLTN baru di Finlandia pada 2005, dan Perancis kemungkinan segera mengambil langkah-langkah untuk menggantikan ‘nuklir dengan nuklir’ begitu pembangkit-pembangkitnya mencapai usia pensiun.

Di Amerika Utara, perpanjangan izin operasi hingga 20 tahun berikutnya telah disetujui bagi 26 PLTN Amerika Serikat. Delapan belas pemohon baru sedang antri, dan 32 lagi telah mengajukan letters of intent, yang secara bersama-sama berkontribusi 75% dari pembangkit-pembangkit Amerika Serikat yang beroperasi. Tujuh PLTN Amerika Serikat yang mulanya mengalami perpanjangan pemadaman telah dihidupkan kembali sejak 1998 dan tiga unit di Kanada telah diaktifkan kembali sejak dua tahun terakhir. Juga tiga konsorsia perusahaan telah memulai permohonan resmi atas lisensi gabungan pembangunan dan pengoperasian, suatu opsi baru yang diperkenalkan oleh Komisi Pengawasan Nuklir Amerika Serikat (USNRC) untuk memudah perizinan dan mendorong sebuah PLTN baru pada 2010.

Isu Perubahan Iklim

PLTN sama sekali hampir tidak menghasilkan gas-gas rumah kaca. Rangkaian kegiatan pada energi nuklir, dari penambangan uranium hingga pembuangan limbah, dan termasuk konstruksi reaktor dan fasilitas, hanya memancarkan 2-6 gram karbon per kilowatt-jam. Ini kira-kira sama dengan yang dihasilkan oleh tenaga angin dan matahari, dan dua orde besaran di bawah batu-bara, minyak dan bahkan gas alam. Di seluruh dunia, jika 440 PLTN dipadamkan dan digantikan dengan sumber non-nuklir lain, akibatnya akan terjadi peningkatan 600 juta ton karbon pertahun. Angka itu mendekati dua kali lipat dari jumlah total yang diestimasi harus dihindari menurut Protokol Kyoto pada 2010.

Beberapa negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto sedang mengimplementasikan langkah-langkah finansial untuk memperkecil emisi gas rumah kaca. Hal terpenting adalah Skema Perdagangan Emisi (ETS) baru yang berlaku mulai 1 Januari 2005 di Uni Eropa. Di Asia, baik Jepang maupun India secara eksplisit telah mengidentifikasi PLTN sebagai bagian kunci dari strategi pengurangan gas rumah kaca mereka.

Setelah 2008-2012 periode komitmen Kyoto pertama program nuklir ambisius di beberapa negara berkembang seperti Cina dan India akan menjadi istimewa penting untuk membatasi emisi gas rumah kaca global. Jika trendnya tetap sama, emisi gas rumah kaca dari negara-negara berkembang agaknya akan melampaui emisi dari negara-negara maju tidak terlalu lama setelah 2030. Pada 2003, India hanya menghasilkan 3,3% listriknya dari nuklir, dan Cina hanya 2,2%.

Cina dan India, di mana 9 PLTN telah dioperasikan dalam 4 tahun terakhir dan 10 lagi sedang dibangun, mengalami pertumbuhan kebutuhan listrik yang cepat. Kedua negara juga menekankan rendahnya polusi udara dan emisi gas rumah kaca dari PLTN.

Jepang dan Korea Selatan, di mana sumber alternatif jauh lebih kecil, telah mengoperasikan 4 PLTN baru dalam 3 tahun terakhir, dan sedang membangun 3 lagi. Karena kedua negara ini sangat rentan dengan terputusnya suplai minyak dan gas, dua keunggulan suplai nuklir menjadi daya tarik. Pertama, bahan bakan nuklir jauh lebih kompak dari pada batu-bara, minyak atau gas alam. Bahan bakar nuklir dapat disimpan bertahun-tahun di pusat pembangkit daya, menjadikannya tidak terganggu oleh terputusnya suplai bahan bakar. Kedua, deposit uranium tidak terkonsentrasi secara geografis seperti sumber daya minyak dan gas dunia. Uranium dilaporkan ada di 43 negara dengan kuantitas cukup berarti di semua benua. Pada 2003, Australia, Canada dan Amerika Serikat menyumbang lebih dari 50% uranium yang ditambang.

Selain itu, beberapa negara berkembang yang saat ini belum mengoperasikan PLTN telah melakukan pendekatan ke IAEA guna mendapatkan nasihat dan analisis yang obyektif terhadap kelayakan nuklir dalam memenuhi kebutuhan listrik mereka, dan jika sesuai, juga meminta bantuan persiapan proyek dan perencanaan pengadaan PLTN.

Isu Kunci: Keselamatan dan Limbah

Isu kunci yang menjadi perhatian utama publik adalah yang menyangkut masalah keselamatan dan pengelolaan limbah. Bagaimana penanganan persepsi publik atas isu ini akan mempengaruhi masa depan nuklir.

Meskipun kemajuan substansial telah banyak dicapai dalam perbaikan kinerja operasi yang aman pada instalasi nuklir selama bertahun-tahun, sejumlah isu terus berlanjut. Sejak teknologi nuklir terus menyebar dan makin banyak negara membangun desainnya sendiri, diversifikasi resultan menggarisbawahi pentingnya: jaminan kualitas; pengelolaan dan pembagian pengetahuan; standar keselamatan yang diterima secara internasional dan digunakan bersama; menyeimbangkan perlunya keselamatan dan keamanan; promosi kerjasama dan berbagi pengalaman di antara otoritas pengawas; dan adaptasi praktek vendor dan kontraktor internasional terhadap beragam budaya dari negara-negara dengan program-program nuklir baru.

Analisis dari peristiwa-peristiwa keselamatan yang dilaporkan memunculkan praktek operasional yang kadang-kadang mengarah pada perlunya perbaikan di dalam otoritas pengawas dan organisasi pengoperasi. Dan sejumlah isu terkait dengan operasi jangka panjang fasilitas nuklir—seperti penuaan peralatan—memerlukan perhatian lebih lanjut. IAEA terus bekerja menuju pengembangan konsensus internasional pada pendekatan yang berhubungan dengan isu-isu ini. Untuk itu, IAEA telah melaksanakan ratusan misi ahli untuk memperbaiki desai dan operasi PLTN.

Salah satu komponen kunci komitmen global terhadap keselamatan PLTN adalah Konvensi Keselamatan Nuklir. Sebelum tiap-tiap pertemuan yang diselenggarakan, negara-negara mengajukan laporan nasional masing-masing tentang semua fasilitas nuklir mereka dan bagaimana mereka memenuhi kewajiban diatur dalam Konvensi. Laporan nasional ini kemudian diulas oleh pihak lain dan diperdebatkan secara terbuka serta pertanyaan dan kritik dipertukarkan.

“Garis dasarnya adalah bahwa telah ada pengakuan internasional secara luas dan komitmen terhadap prinsip bahwa operasi PLTN harus berpusat pada keselamatan, pertama dan yang terutama,” kata Tomihiro Taniguchi, Deputi Direktur Jenderal IAEA untuk Bidang Keselamatan Nuklir.

Bahan bakar bekas yang dihasilkan PLTN di antaranya mempunyai radioaktivitas tinggi. Meskipun volumenya sangat kecil—semua bahan bakar bekas yang dihasilkan per tahun oleh 442 PLTN dunia akan menutup ruang seluas lapangan sepak bola dengan kedalaman hanya 1,5 meter—namun haruslah dikungkung secara aman untuk waktu yang paling lama. Saat ini bahan-bakar bekas disimpan terutama di tempat PLTN yang menghasilkannya.

Untuk jangka panjang, masyarakat ilmiah dan teknik umumnya sepakat bahwa limbah tingkat tinggi dan bahan bakar bekas dapat disimpan secara aman dengan penguburan yang dalam secara geologis di dalam formasi batu cadas, garam dan lempung yang sesuai, menggunakan penghalang-penghalang alamiah dan buatan untuk mengisolasi limbah. Finlandia, Swedia dan Amerika Serikat telah melakukan kemajuan nyata. Pemerintah dan parlemen Finlandia telah menyetujui secara prinsip keputusan untuk membangun penyimpanan akhir bahan bakar bekas dekat Olkiluoto. Pembangunan akan dimulai pada 2011 dan beroperasi pada 2020. Swedia telah memulai penyelidikan geologis yang rinci pada dua calon tapak dan mengharapkan dapat membuat proposal tapak final pada 2007. Pada 2002, Presiden dan Kongres Amerika Serikat telah memutuskan untuk terus melanjutkan tapak pembuangan di Pegunungan Yucca di Nevada, dengan operasi direncanakan mulai pada 2010. Namun, di beberapa negara di dunia belum ada kemajuan berarti dalam pengembangan penyimpanan buangan limbah tingkat tinggi dan bahan bakar bekas—dan penyelesaian isu ini tampaknya menjadi faktor kunci yang akan mempengaruhi masa depan PLTN.

Text Box: Secara internasional, IAEA telah membantu Negara Anggotanya dalam pengembangan pengelolaan limbah dan strategi pembuangan, dan secara aktif memfasilitasi kerjasama dalam riset-riset pembuangan limbah dan proyek-proyek demonstrasi. Pada 2003 telah diselenggarakan Review Meeting pertama pada Konvensi Gabungan Keselamatan Pengelolaan Bahan Bakar Bekas dan Keselamatan Pengelolaan Limbah Radioaktif. Konvensi Gabungan merupakan satu-satunya instrumen internasional yang mengikat secara legal dalam bidang ini. Ia telah menekankan fakta bahwa hanya sedikit negara yang kini mempunyai rencana tegas bagi pembuangan bahan-bakar bekas mereka dan bermaksud, antara lain, untuk memecut negara-negara lain untuk menetapkan strategi-strategi jangka panjang sesegera mungkin.

Juga ada minat yang diperbarui pada kemungkinan penyimpanan internasional, baik karena opsi domestik yang terbatas bagi pembuangan limbah maupun karena proposal baru untuk memperkokoh rezim non-proliferasi global melalui kontrol internasional bagian-bagian penting daur bahan bakar nuklir, seperti pengayaan uranium dan pengelolaan bahan bakar bekas. IAEA secara aktif mendorong isu ini dalam hubungannya dengan studi pengawasan multilateral yang mungkin terhadap daur bahan bakar nuklir.

Inovasi Nuklir

Sebagian besar PLTN baru dalam waktu dekat akan merupakan desai ‘evolusioner’ yang dibangun pada sistem yang telah terbukti sambil memadukan kemajuan teknologi dan kadang kala dengan memperhatikan ekonomi skalanya. Contoh pengembangan evolusioner adalah desain Reaktor Air Tekan Eropa (EPR) yang oleh perusahaan energi TVO Finlandia baru saja dipilih sebagai PLTN barunya, Olkiluoto-3.

“Dalam jangka panjang, desain inovatif baru, dengan waktu konstruksi yang lebih pendek dan secara signifikan memperkecil biaya modal dapat membantu mempomosikan sebuah era baru PLTN,” kata Yuri Sokolov, Deputi Direktur Jenderal IAEA untuk Bidang Energi Nuklir. Sekitar 20 Negara Anggota IAEA saat ini terlibat dalam pengembangan reaktor inovatif dan desain daur bahan bakar. Sokolov menekankan bahwa hal itu akan berhasil, teknologi-teknologi inovatif hendaknya menjawab isu-isu yang terkait keselamatan nuklir, proliferasi dan penghasilan limbah—dan harus mampu menghasilkan listrik pada harga yang kompetitif. Ini berarti menyandarkan secara lebih besar pada sistem keselamatan pasif, pengendalian yang lebih baik pda bahan nuklir, dan keunggulan-keunggulan desain yang memungkinkan pengurangan waktu konstruksi dan memperkecil biaya pengoperasian. IAEA telah mempromosikan inovasi melalui Proyek Internasional pada Reaktor Nuklir Inovatif dan Daur Bahan Bakar (INPRO)-nya dan bekerja sama dengan proyek-proyek inovasi nasional dan internasional lainnya, seperti Forum Internasional Generasi IV yang diprakarsai Amerika Serikat.

Terkait dengan sumber-sumber terbarukan, akan ada kebutuhan yang lebih besar di masa depan terhadap energi nuklir dengan keberhasilan pengembangan kendaraan-kendaraan yang digerakkan oleh sel bahan bakar hidrogen. Hidrogen dapat diproduksi dari air menggunakan listrik, produk utama nuklir, pembangkit listrik tenaga matahari dan angin. Ini akan memungkinkan sumber-sumber energi ini membantu bahan bakar sektor transportasi, yang saat ini 95% digerakkan oleh minyak, dengan tanpa mengeluarkan karbon. Ada beberapa prakarsa riset hidrogen yang sedang berjalan terutama di Jepang, Cina, Amerika Serikat dan Eropa. Semuanya meliputi desain nuklir inovatif yang akan menghasilkan hidrogen secara lebih langsung tanpa harus lebih dahulu menghasilkan listrik.
Energi nuklir, dengan demikian, senantiasa berada di barisan paling depan dari teknologi lain dalam memperhitungkan biaya lingkungan dan kesehatan publik ke dalam harga listrik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar