Laman

Senin, 06 Desember 2010

Embun Jawaban

Oleh: Sb. Rahma

Gita tak faham apa alasan mereka menyingkirkan dirinya dari kelompok itu. Beberapa kali ia mendapati mereka tengah membicarakannya. Tetap, tetap gerombolan yang sering memploklamirkan diri dengan nama ‘Gaster’ itu. Ia pernah mendengar gaster membicarakan tentang hubungannya dengan Kevin, cowok yang dianggap paling cool di kelasnya. Atau menyinggung-nyinggung kekritisannya dalam debat. Sungguh, sorot kesirikan itu sangat kentara dari pandangan yang selalu mereka lempar padanya.
Pagi ini masih sama. Pandangan menantang itu kembali ia dapati ketika pertama kali ia menjejakkan kaki kedalam kelas. Begitu sampai di tempat duduk, ia mendengar beberapa percakapan Gaster yang ditujukan pada dirinya.
“ Duh sombong… banget sih tuh cewek. Sok menyendiri, sok alim, liat aja tuh ampe’ ada tasbih di kotak pensilnya” Seorang menimpali.
“ Punya ilmu nggak bagi-bagi, gue sumpahin nggak bakalan manfaat tuh ilmu” Rutuk yang lain.
Tak ada sedikitpun pandangan manis menoleh padanya. Hingga pelajaran dimulai, ia masih memikirkan pandangan sengit teman-temannya. Tanpa ia sadari air matanya menetes! Tuhan…baru kali ini ia berani membiarkan air matanya mengurai deras. Ia segera bersembunyi dibawah tempat duduknya. Meringkuk sendirian dalam tangis yang makin deras.Hingga sebuah tangan mungil mengusap punggungnya lembut, pastilah itu sahabat karibnya si Anis.
Ya, ini merupakan yang kesekian kalinya. Benar-benar terpuruk kondisi gadis berwajah dingin itu. Keinginannya keluar dari yayasan ini mendadak seperti tergenapkan setelah selama ini ia memendam semua kegelisahannya dan berusaha cuek untuk bersabar. Gita sebenarnya tak begitu mempermasalahkan gunjingan-gunjingan Gaster yang tentu saja teramat panas bila didengarkan. Namun perilaku genk kelas itu berlebihan. Sampai ia harus merelakan diri untuk bersabar ketika rapotnya ditahan karena masalah yang timbul akibat fitnah itu. Citranya telah terlanjur negative di mata guru-guru.
Gita terpekur. Mengoreksi kedalam dirinya sendiri. Pikirannya melayang entah kemana. Dihantar angin utara bersama sejuta asa yang ingin ia raih. Asa yang selalu terselip diantara do’a dan sujud panjangnya. The five dreams, itu yang ia plannging-kan.
“ Ehm!” Satu deheman tegas.
Gita mendongak, dan mata mereka pun bertemu. Sesaat diam, kemudian pemilik deheman itu beringsut pergi.
“ Git, ngapain dia? Kok tumben banget ketua kelas 2 IPA itu masuk kelas kita..?”
Anis yang sedari tadi ada menemani tangisnya berkomentar.
Gita menyeka air matanya dan karena memang sekejap saja tiba-tiba perasaannya mulai stabil.
“ Aku juga nggak tahu, Nis…” Sahutnya kemudian.
“ Eh tunggu, bukannya elu tadi nangis kenceng banget ya?” Air muka Anis berubah semangat.
Gita mengangguk pelan.
“ Dan sekarang elu berhenti nangis setelah Kak Odzi nyamperin elu? Gue tahu Git!” Seru Anis hieteris, ia seolah baru memecahkan teka-teki dari suatu misteri.
Gita jadi semakin tak faham pada tingkah sahabat dekatnya itu. Namun diam-diam ia merasakan sebuah getaran aneh menelusup dalam hatinya, getar yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Odzi is your pray answer, gals…!” Pekik Anis tertahan.
“ Ssssttt…!!! Kenceng banget sih?Slow down please…” Gita mencoba meredakan kehisterisan Anis sebelum Gester melirik mereka dan mencari tahu apa yang baru saja terjadi.
Namun sekali lagi, ia akui atau tidak, jauh di sana dalam hatinya, gerbang yang selama ini pintunya ia tutup rapat-rapat itu mulai terbuka, tepat setelah getaran aneh beberapa detik lalu datang mengusiknya. Gita tersenyum tak faham.
“ Heh, lu kenapa senyam-senyum sendiri? Atau jangan-jangan… elu naksir Kak Odzi ya? Hayo…udahlah ngaku aja Git…” Goda Anis yang ternyata memperhatikan gerak-geriknya sedari tadi.
“ Ngawur! Mikirin aja nggak pernah apalagi naksir, ogah!” Bantah GIta mengelak.
“ Alah… itu kan cuma mulut lu aja yang ngomong, tapidalam hati uhuuiyy…!”
“Apaan sih, Nis. Mana mungkin gue naksir cowok yang dari dulu gue benci? Denger ya, Gita, will never love to someone others except Charlice!” Gita merengut.
“Tapi bener lho, Git. Gue rasa Kak Odzi adalah jawaban dari setiap do’a yang lu panjatin. ‘Cause, dia adalah orang yang pertama kali datang waktu pertama kali lu nangis di kelas ini, betulkan?” Anis serius.
Nafas Gita jadi tertahan sejenak karenanya. Ia memang selalu berdo’a seperti itu di dekat Anis. Posisinya yang baru saja difitnah Gaster habis-habisan membuatnya sampai kelepasan berdo’a seperti yang dikatakan Anis barusan. Gita merinding. Benarkah kehadiran Odzi saat ia menangis tadi merupakan jawaban dari do’anya? Tapi mengapa harus Odzi? Orang yang notabene sangat ia benci karena keangkerannya. Dan sebagai adik kelas yang baru kenal kakak kelasnya, sosok Odzi bagi Gita adalah serupa monster dalam film-film anak nan mengerikan. Odzi yang memiliki tampang tegas dengan rahang keras itu tampak semakin menakutkan dengan mata bercelak.
Siang ini Gita tersesat dalam tanya-tanya panjang. Ia bahkan tak sadar bahwa seharian ia terus memikirkan Odzi, cowok yang tak pernah ia bayangkan untuk pertemuan di tangis pertamanya.
***
“Eyang tidak akan pernah merestui hubungan kalian! Ingat, Kamu itu seorang Roro Ayu, Gita. Dan seorang Roro Ayu haram hukumnya menikah dengan bule! Harus dengan suku jawa asli, yang berarti adalah seorang keturunan ningrat juga. Ngerti kamu?!”
Gita menggigit bibirnya pahit.
Ingatannya terulang kembali. Lima setengah bulan lalu,kata-kata pedas eyangnya itu menghantam keras pertahanan cintanya dengan Charlice. Cinta yang selama dua belas tahun ia perjuangkan bersama asa yang belum pasti adanya.
Ia bertemu Charlice saat usianya masih tiga tahun. Pertemuan singkat namun membawa perubahan besar dalam jalan hidupnya. Cinta membuat seorang Roro Ayu Gita menjadi terbuka matanya. Menuntunnya menjelajahi dunia yang tak pernah ia jumpai selama ia hudup dalam sangkar besi raksasa, Joyodiningrat.
Hmmpphfff…
Ia mendengus keras. Hal yang terlalu sakit untuk kembali diingat. Semenjak hubungannya dengan Charlice tak direstui, Gita berubah menjadi seorang introvert. Gerbang hatinya ia tutup rapat-rapat sehingga tak ada seorang cowok pun berani mengusik kesendiriannya. Ia membuat sebuah keputusan besar untuk tidak akan membuka gerbang hatinya kembali, sebelum ada seorang malaikat yang mampu membukanya dengan satu hal berbeda.
Luka itu… belum sembuh total dalam hatinya sampai detik ini. Selalu ada rasa cemas, takut, ketika ia akan membuka gerbang hatinya kembali. Dan sekarang pun masih sama. Apa ini jatuh cinta atau bukan, ia merasa begitu takut. Ia akui, dua hari semenjak peristiwa itu, pikirannya tak pernah lepas dari sosok Odzie. Ia sendiri tak faham mengapa ia terlalu sering mengingat Odzie di hari-harinya. Padahal selama ini banyak cowok yang menawar cintanya, atau hanya sekedar mencari perhatiannya. Gita sendiri tak mengerti mengapa tiba-tiba Odzie mampu membuat hari-harinya menjadi penuh dengan bayang-bayang tak jelas.
Gita mengusap peluh yang mulai menitik di dahinya. Bosan, jenuh menanggapi hidup yang tak menentu arah dan misteri-misteri di baliknya. Tangannya meraih tombol walkman. Satu lagu mengalir pelan namun mampu terasa begitu menyentuh akan suasana hatinya saat ini
“Sebelumnya tak ada yang mampu
Mengajakku untuk bertahan, dikala sedih
Sebelumnya ku ikat hatiku hanya untuk aku seorang
Sekarang kau disini hilang rasanya
Semua bimbang tangis kesedihan
Kau buat aku bertanya,kau buat aku mencari
Tentang rasa ini, aku tak mengerti
Akankah sama jadinya, bila bukan kamu
Karena senyummu menyadarkanku
Kau cinta pertama dan terakhirku”
Gita tersenyum penuh arti.
***
Jantungnya berdegup kencang. Nafasnya memburu cepat. Ada yang mengambil diary nya! Tak henti kakinya melangkah, mencari siapa yang berani dan begitu lancang mengambil diary nya.
“ Via, lu tahu diary merah yang biasa gue bawa kemana-mana itu nggak?” Tanyanya dengan nafas berantakan. Via teman sebangkunya itu mungkin saja melihat orang yang telah mengambil diary nya. Tapi saat ini Via sedang serius ngobrol dengan temannya, alamat ia tak akan direspon.
Ia panik. Diary itu berisi curahan hatinya akhir-akhir ini. Semua tentang Odzie ada disitu.
“ Gita, lu tanya apa tadi? Diary merah?” Via menghentikan langkah kakinya yang hendak beranjak.
“ Di Kak Odzie”
Deg!!
Lututnya lemas seketika. Pandangan matanya mendadak kabur. Ya Tuhan…apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia malu. Malu yang teramat sangat, yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Tadi ia sempat berfikir bahwa gaster-lah yang mengambil diary nya. But…
“Gue harus ambil diary itu!” Katanya dalam hati.
Ia berlari menuju kelas 2 IPA. Dan benar saja, Odzie tengah membaca diary nya di pojok kelas seorang diri.
“ Odzie??” Gita berusaha mengatur nafas yang tersengal.
Reflek Odzie menoleh. Cowok itu tersenyum simpul sambil berdiri tepat di depannya. Menyerahkan kembali diary nya dengan ekspresi damai.
“ Nih gue balikin…” Odzie mengulurkan diary merahnya.
Gita sesak menahan antara marah, malu, canggung, semua bergemuruh jadi satu, menghentak-hentak ke seluruh penjuru arteri tubuhnya.
Tiba-tiba ia berlari kembali ke kelasnya. Hancur sudah apa yang selama ini mencoba ia tutupi dari Odzie. Perasaannya, Charlice, masa lalu, semua telah di baca Odzie.
“Git….!!” Seru Odzie ngos-ngosan.
Gita hnaya membisu.
“ Git, maafin gue kalau gue dah lancang liat diary lu. Nih gue balikin…” Odzie memelas.
Gita serentak mengambil diary nyadari tangan Odzie.
“ Sekali lagi, maafin gue, ya? Lu mau kan maafin gue?”
Gita tak menyahut. Ia beranjak ke tempat duduknya.
Teng! Teng! Teng!
Bel masuk berbunyi. Pelajaran berlangsung seru. Namun Gita masih tak dapat menahan rasa malunya pada Odzie. Ia tak faham mengapa Odzie sampai tahu dimana letak diary nya dan apa alasan Odzie Mengambil diary nya. Pelajaran masih berlangsung meski lima belas menit lagi bel tanda pulang sekolah akan berdentang. Dan ketika bel benar-benar berdentang untuk mengakhiri pelajaran, Gita kelabakan bingung. Toleh kanan-kiri, mencari disana sini. Diary nya hilang lagi!
***
“ Diary lu ada di tas gue. Ayo ikut ke kelas…”
Odzie, herrghh…! Dari mana ia bisa mengambil diary nya, sedangkan saat pelajaran berlangsung, dia tak melihat Odzie masuk kelasnya dan ia sendiri juga tidak pernah meninggalkan kelas barang sedetik.
Anehnya, pagi ini ia menurut saja waktu Odzie memintanya datang ke kelas 2 IPA. Begitu masuk, ia disambut siulan histeris teman sekelas Odzie. Ia sadar, posisi Odzie sebagai ketua kelas tentu membuat sensasi baru jika ada seorang cewekyang dekat dengan sosok the center of class itu. Apalagi dirinya masih kelas 1.
“ Sorry ya, kemarin gue pinjem lagi. Abis penasaran sih gimana lanjutannya..” Enteng, ringan, tenang. Padahal saat ini Gita sedang menahan kekesalan akut.
“ Dari mana dan gimana caranya lu bisa dapetin diary itu lagi?” Selidik Gita.
“ Dari teman sebangku lu, Via” Odzie menyerahkan diary nya kembali.
“ Vi…Via ??” Ia memastikan.
“ Iya Via. Tapi gue yang maksa dia buat ngambil diary lu…”
Sekali lagi jawaban Odzie yang enteng itu membuatnya semakin kesal, tapi juga malu.
“ Git…” Odzie duduk di hadapannya.
Gita jadi deg-degan. Getaran itu muncul lagi dengan ritme yang lebih cepat. Tanpa sadar pipinya memerah, malu.
“ Lu salah kalau lu tulis di diary itu gue udah punya honey. Itu Cuma kedok gue aja supaya cewek-cewek yang naksir gue pergi. Dan supaya gue bisa belajar dengan tenang” terang Odzie. Mata cowok itu menatapnya lekat-lekat. Gita mengalihkan pandangan.
“ Trus kenapa lu bilang gitu ama gue, maksudnya apa?”
“ Ya biar lu tahu kalau sebenarnya gossip tentang gue punya cewek itu salah” Jawab Odzie mantap.
Ada sebetik kelegaan hadir di hati Gita. Rasa lega yang aneh saat ia mendengar keterangan Odzie.
“ Tentang feeling lu ke gue itu, kita jalani dulu aja deh. Yang jelas gue nggak mau pacaran sebelum cita-cita gue kesampaian” Tambah Odzie lagi.
“ Ya siapa juga yang ngajak lu pacaran. Denger ya, gue itu anti pacaran. Jadi sekalipun gue cinta ama lu, gue tetep nggak mau pacaran. See ?” Gita menimpali.
Odzie tersenyum penuh makna.
“ Jadi sekarang lu udah ngakuin kalau lu suka am ague” Goda Odzie.
“ Apaan sih…GR banget…” Kilah Gita denagn senyum yang sukar diartikan.
Senyum pertama dalam kesendiriannya. Senyum yang menguatkannya untuk tetap bertahan di yayasan dengan segala resikonya. Senyum yang mencuat karena gerbang hatinya telah benar-benar terbuka kembali. Dan senyum lantaran ia akan terus menjaga embun jawaban dari do’anya selama ini, Odzie…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar