Laman

Selasa, 28 Desember 2010

oryzaephilus surinamensis






The sawtoothed grain beetle, Oryzaephilus surinamensis, is a slender, dark brown beetle 2.4–3 mm in size , with characteristic "teeth" running down the side of the prothorax. The sawtoothed grain beetle is a primary pest, in the UK, that attacks damaged grain. Carolus Linnaeus, the Swedish naturalist who defined taxonomic arrangements for the animal, plant, and mineral kingdoms acquired samples of the sawtoothed grain beetle from Suriname (Dutch Guiana) and named the species "Oryzaephilus surinamensis" because of this. (It is Latin for "rice-lover from Surinam".)

A relative of the sawtoothed grain beetle of the same genus, the merchant grain beetle, is more likely to be found in domestic dwellings since it requires higher more stable temperatures and can be found infesting biscuits and fruit and nut products. The adults can fly but rarely do. They can be differentiated by looking at the distance of the eye to the prothorax: with the merchant grain beetle it is less than half the vertical diameter of the eye.

The sawtoothed grain beetle lays its eggs loosely on foodstuffs at the rate of 6–10 per day, with total being 370 per female. The larvae are to be found within the mass of the foodstuff in the top centimetre or two. As mentioned above damaged cereal is entered through broken kernels, and the larvae feed on the germ, causing damage by reducing the percentage of grains which will germinate.

The total life cycle is 20–80 days at 18–37°C.

The sawtoothed grain beetle can survive in unheated warehouses in the UK, and is considered the most important pest of home grown grain in the UK. The beetles survive the winter hiding in cracks and infest new stocks of grain the following year. Both insects are distributed throughout the world and regularly imported into the UK in unprocessed cereals, oil cakes, and from grains from other stores.

Treatment in bulk storage situations normally is carried out by fumigation, and in domestic situations finding the infested material, disposing of it and carrying out a residual spray to kill off stragglers.
TRANSLATE
Kumbang gandum sawtoothed, surinamensis Oryzaephilus, adalah ramping, kumbang coklat tua 2,4-3 mm dalam ukuran, dengan karakteristik "gigi" mengalir di sisi prothorax tersebut. Kumbang gandum sawtoothed merupakan hama utama, di Inggris, bahwa serangan rusak butir. Carolus Linnaeus, para naturalis Swedia yang didefinisikan pengaturan taksonomi untuk tanaman, hewan, dan kerajaan mineral diperoleh sampel kumbang gandum sawtoothed dari Suriname (Belanda Guyana) dan nama spesies "surinamensis Oryzaephilus" karena hal ini. (Ini adalah bahasa Latin untuk "-kekasih beras dari Suriname".)

Seorang kerabat kumbang gandum sawtoothed dari genus yang sama, kumbang gandum pedagang, lebih mungkin ditemukan di tempat tinggal rumah tangga karena memerlukan suhu lebih stabil yang lebih tinggi dan dapat ditemukan infesting biskuit dan produk buah-buahan dan kacang. Orang-orang dewasa bisa terbang tetapi jarang dilakukan. Mereka dapat dibedakan dengan melihat jarak mata untuk prothorax: dengan kumbang gandum pedagang itu kurang dari setengah diameter vertikal mata.

Kumbang gandum sawtoothed bertelur longgar pada bahan makanan sebesar 6-10 per hari, dengan total menjadi 370 per perempuan. Larva dapat ditemukan dalam massa bahan makanan di atas atau dua sentimeter. Sebagaimana disebutkan di atas sereal rusak dimasukkan melalui kernel rusak, dan pakan larva kuman, menyebabkan kerusakan dengan mengurangi persentase butir yang akan bertunas.

Siklus hidup total 20-80 hari pada 18-37 ° C.

Kumbang gandum sawtoothed dapat bertahan hidup di gudang dipanaskan di Inggris, dan dianggap sebagai gandum tumbuh paling penting hama rumah di Inggris. Kumbang bertahan bersembunyi musim dingin di celah-celah dan saham baru menduduki gabah tahun berikutnya. Kedua serangga didistribusikan di seluruh dunia dan secara teratur diimpor ke Inggris pada sereal yang belum diproses, kue minyak, dan dari biji-bijian dari toko lain.

Perlakuan dalam situasi penyimpanan massal biasanya dilakukan dengan pengasapan, dan dalam situasi domestik menemukan materi penuh, membuangnya dan melaksanakan semprotan sisa untuk membunuh pejalan kaki.

Kamis, 23 Desember 2010

Cita2 que....tinggal selangkah lage

Accommodation

Harvard guarantees every student College housing for four years. By design, residential life that brings together students and faculty is an essential part of the Harvard experience. Nearly all students choose to live on campus for their full undergraduate careers.

Programs

* Built Environment
* Computing/Information Technology
* Creative/Performing Arts
* Economics
* General Engineering/Other Engineering
* History/Archaeology
* Humanities
* Languages
* Mathematics
* Medicine/Medical Sciences
* Philosophy
* Physical Sciences
* Psychology
* Public Policy
* Sociology/Social Studies
* Theology/Religion


Scholarships
Awarded to students from each of harvards schools, who is both academically excellent and deemed to be of financial need.

The Committee on General Scholarships
The Committee on General Scholarships administers special financial aid, scholarship, and fellowship programs that support Harvard University graduate and undergraduate students.

The Committee on General Scholarships administers several programs for international students who wish to study at Harvard University’s graduate and professional schools.

1. Amalia Lacroze de Fortabat Fellowship (Argentina)
2. The Francis and Peggy Cahn Fund for Argentina
3. Jorge Paulo Lemann Fellowship
4. Scholarships for Colombian Students
5. Real Colegio Complutense Scholarship (Spain)

Committee on General Scholarships
Ancestry-Based Scholarships Program
1430 Massachusetts Avenue, 6th Floor
Cambridge, MA 02141

Jumat, 10 Desember 2010

Senin, 06 Desember 2010

PONSEL IDAN

leh: Ika Maya Susanti

“Tampang cowok kamu memang keren sih… Kalau yang nggak tahu, mungkin barangkali dikiranya model! Tapi, aduh….” Elis mengelus keningnya berkali-kali.

Manda jadi bingung sendiri. “Kenapa Lis? Emangnya Idan kenapa? Kok kamu jadi ngelus-elus kening begitu? Emangnya Idan bisa bikin kening jadi gatel ya?” celutuk Manda sambil mengerdip-kerdipkan mata. Sebetulnya Manda tahu arah pembicaraan Elis. Namun sekali lagi, untuk kali ini Manda masih mencoba bersikap tenang.

“Ponselnya itu lho! Ih, cakep-cakep kok pakai ponsel jadul?!” ekspresi wajah Elis terlihat mengejek dengan bentuk bibirnya yang mengerucut lama sembari menyebut kata jadul.

“Eh udah, ngomong jadul ya jadul. Tapi nggak usah sampai monyong lama begitu dong,” tangan Manda mencoba menangkup bibir Elis karena gemas yang namun segera ditepis oleh Elis.

“Iih… apaan sih! Serius nih! Iya tuh Nda, bisa nggak sih kamu rubah penampilan jadul si Idan, cowokmu itu?!” protes Elis tak ada habis-habisnya.

Manda masih senyum dengan manisnya menanggapi protes dari Elis. “Aduh, kamu itu kenapa sih?! Orang Idan yang punya ponsel saja nggak ada masalah. Aku juga yang jadi pacarnya nggak kerasa keganggu tuh. Terus kenapa kamu jadi sibuk sendiri? Ah udah deh, aku mau pulang dulu. Udah ditunggu sama Idan tuh. Daagh…” Manda lalu berlalu sambil melambai ke arah Elis. Menurutnya jika ia terus-terusan ada di situ, pastinya Elis tidak akan ada habis-habisnya memprotes ponsel milik Idan.

Namun ucapan Elis mau tak mau mengganggu pikiran dan perasaan Manda. Manda memang pernah bertanya padda Idan. Namun ia tidak pernah mendapat jawaban jujur dari pacarnya tersebut. Dan saat sedang bersama Idan, Manda pun jadi penasaran untuk menanyakan masalah tentang ponsel milik pacarnya itu.

“Dan, kenapa sih kamu nggak ganti ponsel? Itu ponsel kan udah jadul banget. Aku jadi penasaran! Udah gitu, banyak banget tuh aspirasi dari teman-teman yang disampaikan ke aku melulu,” tanya Manda suatu ketika di akhir setumpuk rasa penasaran dari dirinya dan juga setumpuk kecapekan telinganya mendengar aspirasi dari teman-temannya.

Idan malah menggenggam ponselnya sambil ditunjukkan ke arah Manda. “Kamu tahu nggak Nda, ponsel ini tuh tahan banting. Untuk ngelempar anjing yang lagi rese juga bisa. Mantap beneran tuh kalau sampai kena! Dan kayaknya, mungkin nggak akan rusak kali buat ngelempar anjing rese!” jelas Idan sambil terkekeh.

Manda lalu mencubit lengan Idan dengan gemas. “Iiih…. aku serius nih! Awalnya sih aku nggak apa-apa. Tapi karena banyak banget orang yang protes lewat kupingku, akhirnya aku jadi penasaran juga nih!”

Idan lalu menggenggam tangan Manda. Sambil tersenyum, ditatapnya wajah Manda dalam-dalam. “Kamu lagi serius ya Nda. Kalau begitu aku nawar lima rius deh. Hehe… Sekarang aku ganti tanya, kamu malu ya Nda kalau punya cowok pakai ponsel jadul?” Nada suara Idan jadi ikut-ikutan benar-benar serius, membuat Manda jadi kikuk ditanya seperti itu.

“Nda, ponsel ini sangat dalam arti sejarahnya buat aku. Waktu itu ayahku hanya mampu membelikan ponsel ini ketika aku merengek-rengek ingin punya ponsel seperti teman-temanku. Pas aku jalan sama ayah habis pulang dari beli ponsel, ayahku diserempet orang sampai jatuh dan…” Idan tidak bisa meneruskan kata-katanya karena kemudian ia hanya bisa menunduk.

Manda memeluk Idan erat. “Kenapa kamu nggak pernah cerita tentang itu, Dan?” ujar Manda yang jadi merasa bersalah.

Idan melepas pelukan Manda. “Itu kenangan yang membuat aku selalu cengeng saat mengingatnya, Nda. Apalagi kalau harus cerita. Jadinya bikin aku harus menangis seperti ini. Hehe, jangan ketawa ya kalau lihat aku nangis. Ah, padahal aku ini kan cowok!” sambil malu-malu, Idan menyeka air matanya.

“Aku nggak akan ketawa kok, Dan. Tapi cuma tersenyum. Lihat nih!” Manda tersenyum semanis-manisnya untuk Idan. “Kamu tahu kan Dan, aku selalu menerima kekurangan kamu?”

“Makasih Nda. Oh iya, satu lagi. Keteguhan hatiku menjaga ponsel jadul ini juga bukti kalau aku ini tipe setia lho! Setia sama pemberian ayah, setia sama ponsel ini, dan juga mencoba setia sama kamu. Pokoknya aku ini cowok yang setia kok!” celoteh Idan yang membuat Manda tak tahan untuk memeluk Idan lagi.

“Aku juga nggak akan mudah melepas cowok seperti kamu kok, Dan! Seperti kamu yang nggak mudah melepas ponsel milikmu itu!” tekad Manda dalam hati.

Embun Jawaban

Oleh: Sb. Rahma

Gita tak faham apa alasan mereka menyingkirkan dirinya dari kelompok itu. Beberapa kali ia mendapati mereka tengah membicarakannya. Tetap, tetap gerombolan yang sering memploklamirkan diri dengan nama ‘Gaster’ itu. Ia pernah mendengar gaster membicarakan tentang hubungannya dengan Kevin, cowok yang dianggap paling cool di kelasnya. Atau menyinggung-nyinggung kekritisannya dalam debat. Sungguh, sorot kesirikan itu sangat kentara dari pandangan yang selalu mereka lempar padanya.
Pagi ini masih sama. Pandangan menantang itu kembali ia dapati ketika pertama kali ia menjejakkan kaki kedalam kelas. Begitu sampai di tempat duduk, ia mendengar beberapa percakapan Gaster yang ditujukan pada dirinya.
“ Duh sombong… banget sih tuh cewek. Sok menyendiri, sok alim, liat aja tuh ampe’ ada tasbih di kotak pensilnya” Seorang menimpali.
“ Punya ilmu nggak bagi-bagi, gue sumpahin nggak bakalan manfaat tuh ilmu” Rutuk yang lain.
Tak ada sedikitpun pandangan manis menoleh padanya. Hingga pelajaran dimulai, ia masih memikirkan pandangan sengit teman-temannya. Tanpa ia sadari air matanya menetes! Tuhan…baru kali ini ia berani membiarkan air matanya mengurai deras. Ia segera bersembunyi dibawah tempat duduknya. Meringkuk sendirian dalam tangis yang makin deras.Hingga sebuah tangan mungil mengusap punggungnya lembut, pastilah itu sahabat karibnya si Anis.
Ya, ini merupakan yang kesekian kalinya. Benar-benar terpuruk kondisi gadis berwajah dingin itu. Keinginannya keluar dari yayasan ini mendadak seperti tergenapkan setelah selama ini ia memendam semua kegelisahannya dan berusaha cuek untuk bersabar. Gita sebenarnya tak begitu mempermasalahkan gunjingan-gunjingan Gaster yang tentu saja teramat panas bila didengarkan. Namun perilaku genk kelas itu berlebihan. Sampai ia harus merelakan diri untuk bersabar ketika rapotnya ditahan karena masalah yang timbul akibat fitnah itu. Citranya telah terlanjur negative di mata guru-guru.
Gita terpekur. Mengoreksi kedalam dirinya sendiri. Pikirannya melayang entah kemana. Dihantar angin utara bersama sejuta asa yang ingin ia raih. Asa yang selalu terselip diantara do’a dan sujud panjangnya. The five dreams, itu yang ia plannging-kan.
“ Ehm!” Satu deheman tegas.
Gita mendongak, dan mata mereka pun bertemu. Sesaat diam, kemudian pemilik deheman itu beringsut pergi.
“ Git, ngapain dia? Kok tumben banget ketua kelas 2 IPA itu masuk kelas kita..?”
Anis yang sedari tadi ada menemani tangisnya berkomentar.
Gita menyeka air matanya dan karena memang sekejap saja tiba-tiba perasaannya mulai stabil.
“ Aku juga nggak tahu, Nis…” Sahutnya kemudian.
“ Eh tunggu, bukannya elu tadi nangis kenceng banget ya?” Air muka Anis berubah semangat.
Gita mengangguk pelan.
“ Dan sekarang elu berhenti nangis setelah Kak Odzi nyamperin elu? Gue tahu Git!” Seru Anis hieteris, ia seolah baru memecahkan teka-teki dari suatu misteri.
Gita jadi semakin tak faham pada tingkah sahabat dekatnya itu. Namun diam-diam ia merasakan sebuah getaran aneh menelusup dalam hatinya, getar yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Odzi is your pray answer, gals…!” Pekik Anis tertahan.
“ Ssssttt…!!! Kenceng banget sih?Slow down please…” Gita mencoba meredakan kehisterisan Anis sebelum Gester melirik mereka dan mencari tahu apa yang baru saja terjadi.
Namun sekali lagi, ia akui atau tidak, jauh di sana dalam hatinya, gerbang yang selama ini pintunya ia tutup rapat-rapat itu mulai terbuka, tepat setelah getaran aneh beberapa detik lalu datang mengusiknya. Gita tersenyum tak faham.
“ Heh, lu kenapa senyam-senyum sendiri? Atau jangan-jangan… elu naksir Kak Odzi ya? Hayo…udahlah ngaku aja Git…” Goda Anis yang ternyata memperhatikan gerak-geriknya sedari tadi.
“ Ngawur! Mikirin aja nggak pernah apalagi naksir, ogah!” Bantah GIta mengelak.
“ Alah… itu kan cuma mulut lu aja yang ngomong, tapidalam hati uhuuiyy…!”
“Apaan sih, Nis. Mana mungkin gue naksir cowok yang dari dulu gue benci? Denger ya, Gita, will never love to someone others except Charlice!” Gita merengut.
“Tapi bener lho, Git. Gue rasa Kak Odzi adalah jawaban dari setiap do’a yang lu panjatin. ‘Cause, dia adalah orang yang pertama kali datang waktu pertama kali lu nangis di kelas ini, betulkan?” Anis serius.
Nafas Gita jadi tertahan sejenak karenanya. Ia memang selalu berdo’a seperti itu di dekat Anis. Posisinya yang baru saja difitnah Gaster habis-habisan membuatnya sampai kelepasan berdo’a seperti yang dikatakan Anis barusan. Gita merinding. Benarkah kehadiran Odzi saat ia menangis tadi merupakan jawaban dari do’anya? Tapi mengapa harus Odzi? Orang yang notabene sangat ia benci karena keangkerannya. Dan sebagai adik kelas yang baru kenal kakak kelasnya, sosok Odzi bagi Gita adalah serupa monster dalam film-film anak nan mengerikan. Odzi yang memiliki tampang tegas dengan rahang keras itu tampak semakin menakutkan dengan mata bercelak.
Siang ini Gita tersesat dalam tanya-tanya panjang. Ia bahkan tak sadar bahwa seharian ia terus memikirkan Odzi, cowok yang tak pernah ia bayangkan untuk pertemuan di tangis pertamanya.
***
“Eyang tidak akan pernah merestui hubungan kalian! Ingat, Kamu itu seorang Roro Ayu, Gita. Dan seorang Roro Ayu haram hukumnya menikah dengan bule! Harus dengan suku jawa asli, yang berarti adalah seorang keturunan ningrat juga. Ngerti kamu?!”
Gita menggigit bibirnya pahit.
Ingatannya terulang kembali. Lima setengah bulan lalu,kata-kata pedas eyangnya itu menghantam keras pertahanan cintanya dengan Charlice. Cinta yang selama dua belas tahun ia perjuangkan bersama asa yang belum pasti adanya.
Ia bertemu Charlice saat usianya masih tiga tahun. Pertemuan singkat namun membawa perubahan besar dalam jalan hidupnya. Cinta membuat seorang Roro Ayu Gita menjadi terbuka matanya. Menuntunnya menjelajahi dunia yang tak pernah ia jumpai selama ia hudup dalam sangkar besi raksasa, Joyodiningrat.
Hmmpphfff…
Ia mendengus keras. Hal yang terlalu sakit untuk kembali diingat. Semenjak hubungannya dengan Charlice tak direstui, Gita berubah menjadi seorang introvert. Gerbang hatinya ia tutup rapat-rapat sehingga tak ada seorang cowok pun berani mengusik kesendiriannya. Ia membuat sebuah keputusan besar untuk tidak akan membuka gerbang hatinya kembali, sebelum ada seorang malaikat yang mampu membukanya dengan satu hal berbeda.
Luka itu… belum sembuh total dalam hatinya sampai detik ini. Selalu ada rasa cemas, takut, ketika ia akan membuka gerbang hatinya kembali. Dan sekarang pun masih sama. Apa ini jatuh cinta atau bukan, ia merasa begitu takut. Ia akui, dua hari semenjak peristiwa itu, pikirannya tak pernah lepas dari sosok Odzie. Ia sendiri tak faham mengapa ia terlalu sering mengingat Odzie di hari-harinya. Padahal selama ini banyak cowok yang menawar cintanya, atau hanya sekedar mencari perhatiannya. Gita sendiri tak mengerti mengapa tiba-tiba Odzie mampu membuat hari-harinya menjadi penuh dengan bayang-bayang tak jelas.
Gita mengusap peluh yang mulai menitik di dahinya. Bosan, jenuh menanggapi hidup yang tak menentu arah dan misteri-misteri di baliknya. Tangannya meraih tombol walkman. Satu lagu mengalir pelan namun mampu terasa begitu menyentuh akan suasana hatinya saat ini
“Sebelumnya tak ada yang mampu
Mengajakku untuk bertahan, dikala sedih
Sebelumnya ku ikat hatiku hanya untuk aku seorang
Sekarang kau disini hilang rasanya
Semua bimbang tangis kesedihan
Kau buat aku bertanya,kau buat aku mencari
Tentang rasa ini, aku tak mengerti
Akankah sama jadinya, bila bukan kamu
Karena senyummu menyadarkanku
Kau cinta pertama dan terakhirku”
Gita tersenyum penuh arti.
***
Jantungnya berdegup kencang. Nafasnya memburu cepat. Ada yang mengambil diary nya! Tak henti kakinya melangkah, mencari siapa yang berani dan begitu lancang mengambil diary nya.
“ Via, lu tahu diary merah yang biasa gue bawa kemana-mana itu nggak?” Tanyanya dengan nafas berantakan. Via teman sebangkunya itu mungkin saja melihat orang yang telah mengambil diary nya. Tapi saat ini Via sedang serius ngobrol dengan temannya, alamat ia tak akan direspon.
Ia panik. Diary itu berisi curahan hatinya akhir-akhir ini. Semua tentang Odzie ada disitu.
“ Gita, lu tanya apa tadi? Diary merah?” Via menghentikan langkah kakinya yang hendak beranjak.
“ Di Kak Odzie”
Deg!!
Lututnya lemas seketika. Pandangan matanya mendadak kabur. Ya Tuhan…apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia malu. Malu yang teramat sangat, yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Tadi ia sempat berfikir bahwa gaster-lah yang mengambil diary nya. But…
“Gue harus ambil diary itu!” Katanya dalam hati.
Ia berlari menuju kelas 2 IPA. Dan benar saja, Odzie tengah membaca diary nya di pojok kelas seorang diri.
“ Odzie??” Gita berusaha mengatur nafas yang tersengal.
Reflek Odzie menoleh. Cowok itu tersenyum simpul sambil berdiri tepat di depannya. Menyerahkan kembali diary nya dengan ekspresi damai.
“ Nih gue balikin…” Odzie mengulurkan diary merahnya.
Gita sesak menahan antara marah, malu, canggung, semua bergemuruh jadi satu, menghentak-hentak ke seluruh penjuru arteri tubuhnya.
Tiba-tiba ia berlari kembali ke kelasnya. Hancur sudah apa yang selama ini mencoba ia tutupi dari Odzie. Perasaannya, Charlice, masa lalu, semua telah di baca Odzie.
“Git….!!” Seru Odzie ngos-ngosan.
Gita hnaya membisu.
“ Git, maafin gue kalau gue dah lancang liat diary lu. Nih gue balikin…” Odzie memelas.
Gita serentak mengambil diary nyadari tangan Odzie.
“ Sekali lagi, maafin gue, ya? Lu mau kan maafin gue?”
Gita tak menyahut. Ia beranjak ke tempat duduknya.
Teng! Teng! Teng!
Bel masuk berbunyi. Pelajaran berlangsung seru. Namun Gita masih tak dapat menahan rasa malunya pada Odzie. Ia tak faham mengapa Odzie sampai tahu dimana letak diary nya dan apa alasan Odzie Mengambil diary nya. Pelajaran masih berlangsung meski lima belas menit lagi bel tanda pulang sekolah akan berdentang. Dan ketika bel benar-benar berdentang untuk mengakhiri pelajaran, Gita kelabakan bingung. Toleh kanan-kiri, mencari disana sini. Diary nya hilang lagi!
***
“ Diary lu ada di tas gue. Ayo ikut ke kelas…”
Odzie, herrghh…! Dari mana ia bisa mengambil diary nya, sedangkan saat pelajaran berlangsung, dia tak melihat Odzie masuk kelasnya dan ia sendiri juga tidak pernah meninggalkan kelas barang sedetik.
Anehnya, pagi ini ia menurut saja waktu Odzie memintanya datang ke kelas 2 IPA. Begitu masuk, ia disambut siulan histeris teman sekelas Odzie. Ia sadar, posisi Odzie sebagai ketua kelas tentu membuat sensasi baru jika ada seorang cewekyang dekat dengan sosok the center of class itu. Apalagi dirinya masih kelas 1.
“ Sorry ya, kemarin gue pinjem lagi. Abis penasaran sih gimana lanjutannya..” Enteng, ringan, tenang. Padahal saat ini Gita sedang menahan kekesalan akut.
“ Dari mana dan gimana caranya lu bisa dapetin diary itu lagi?” Selidik Gita.
“ Dari teman sebangku lu, Via” Odzie menyerahkan diary nya kembali.
“ Vi…Via ??” Ia memastikan.
“ Iya Via. Tapi gue yang maksa dia buat ngambil diary lu…”
Sekali lagi jawaban Odzie yang enteng itu membuatnya semakin kesal, tapi juga malu.
“ Git…” Odzie duduk di hadapannya.
Gita jadi deg-degan. Getaran itu muncul lagi dengan ritme yang lebih cepat. Tanpa sadar pipinya memerah, malu.
“ Lu salah kalau lu tulis di diary itu gue udah punya honey. Itu Cuma kedok gue aja supaya cewek-cewek yang naksir gue pergi. Dan supaya gue bisa belajar dengan tenang” terang Odzie. Mata cowok itu menatapnya lekat-lekat. Gita mengalihkan pandangan.
“ Trus kenapa lu bilang gitu ama gue, maksudnya apa?”
“ Ya biar lu tahu kalau sebenarnya gossip tentang gue punya cewek itu salah” Jawab Odzie mantap.
Ada sebetik kelegaan hadir di hati Gita. Rasa lega yang aneh saat ia mendengar keterangan Odzie.
“ Tentang feeling lu ke gue itu, kita jalani dulu aja deh. Yang jelas gue nggak mau pacaran sebelum cita-cita gue kesampaian” Tambah Odzie lagi.
“ Ya siapa juga yang ngajak lu pacaran. Denger ya, gue itu anti pacaran. Jadi sekalipun gue cinta ama lu, gue tetep nggak mau pacaran. See ?” Gita menimpali.
Odzie tersenyum penuh makna.
“ Jadi sekarang lu udah ngakuin kalau lu suka am ague” Goda Odzie.
“ Apaan sih…GR banget…” Kilah Gita denagn senyum yang sukar diartikan.
Senyum pertama dalam kesendiriannya. Senyum yang menguatkannya untuk tetap bertahan di yayasan dengan segala resikonya. Senyum yang mencuat karena gerbang hatinya telah benar-benar terbuka kembali. Dan senyum lantaran ia akan terus menjaga embun jawaban dari do’anya selama ini, Odzie…

HUJAN

Oleh: Ika Maya Susanti

“Saya suka kamu!”

Hening. Satu, dua, tiga, hingga berapa detik pun berlalu dengan hitungan yang hampir bersamaan di masing-masing hati Opik dan Indah. Tolehan kepala yang bersamaan membuat kedua wajah mereka bersemu merah. Lalu, masing-masing kepala itu kembali terpekur menatap sepatu masing-masing.

Sepatuku masih sama, pikir Opik. Dan ia pun lalu menatap langit yang ternyata sudah berubah sejak terakhir ia memandangnya. Sebelumnya penuh berawan putih. Namun, kini telah berubah menjadi hitam pekat menggantung. Cuaca Batam memang selalu tak menentu, batin Opik.

“Oke deh, aku pulang sekarang.”

“Nggak perlu jawabannya sekarang kan?”

Opik menggeleng sambil tersenyum. Tubuhnya setengah melompat dari posisi duduknya. Lalu berjalan menyeberangi halaman kampus. Ketika kakinya menginjakkan area pejalan kaki yang beratap, hujan lalu turun cepat menderu. Sampai di ujung area pejalan kaki, hujan makin menjadi. Ia tak siap dengan jas hujan karena berpikir pastinya hari yang cerah di pagi hari tidak mengundang hujan di sore harinya. Meski ketika hujan seperti sekarang ini pun ia lalu kembali tersadar, bahwa Batam tak pernah mengenal cuaca.

Sedia payung sebelum hujan? “Huh, pantang! Nggak banget deh kalau cowok pakai payung ke mana-mana! Apalagi dengan versi warna kembang-kembang atau yang ngejreng seperti pink, kuning, atau biru! Hitam? Emangnya mau ngelayat?” selalu itu yang ia rutuki jika sedikit saja terbersit kata payung saat hujan menjebaknya seperti sekarang.

Kos tempat Opik tinggal berada di seberang kampus. Jika menyeberangi jalan dua arah, ia tinggal menuruni tanah setapak yang menurun dan menghubungkan jalan besar dengan perumahan tempat kosnya berada. Namun jika hujan begini, jangan harap untuk mencoba jalan setapak itu. Karena yang ada justru kegiatan land skating, pengganti ice skating, yang bisa menuntutnya. Sudahlah menurun, tanah merah itupun akan nampak belikat dan licin dipijak.

Berjalan memutar! Sepertinya tiada solusi lain yang bisa ia miliki saat hujan yang deras dan langit yang sepertinya tak jua memudar pekat hitamnya. “Nggak ada salahnya bukan mencoba sesuatu yang berbeda sekali-sekali. Biar makin lengkap sudah keunikan hari ini!” pikir Opik.

Saat Opik memutuskan menerobos hujan, berjalan menyeberang jalan, tanpa payung atau jas hujan, seseorang yang berdiri di tepi Opik seketika bernafas lega. Cukup lumayan sudah ia berharap sesuatu yang sepertinya mustahil, ada orang di sekitarnya yang sudi memberikan sedikti tempat untuk menyelamatkan sepatu sneakernya yang basah tersiram hujan, di tengah hujan deras yang siapapun pasti berpikir normal untuk berteduh. Dan ketika Opik pergi, ia seperti melihat sebuah keajaiban tiba-tiba terjadi.

Namun hanya ia sendiri yang tak berpikir seperti kebanyakan orang yang menujukan tatapannya ke arah tubuh Opik. Hujan deras, main hujan-hujanan, pasti bukan orang waras! Batin banyak orang kompak. Tapi seperti tahu jika dirinya sedang menjadi pembicaraan batin banyak orang, Opik lalu mengedarkan pandangannya. Tersenyum!

“Benar-benar anak yang kurang waras!”

“Eh, bukannya itu kawan engkau?”

“Iya, satu kos aku. Ah, biar sajalah dia berulah. Tinggal aku lihat lah bagaimana ia terkapar nanti di kamar,” sahut yang lain.

Opik jelas tidak mendengar. Ia asyik berjalan santai, tidak terburu-buru, dan begitu menikmati tetesan-tetesan besar hujan yang menerpa kepala hingga tubuhnya.

Opik rindu bermain dengan hujan. Ia ingat pertama kali ketika memutuskan bermain dengan hujan, saat berada di rumah mbahnya yang ada di Lamongan. Ada sebuah tambak di depan rumah mbahnya. Setiap kali hujan, orang pun banyak keluar rumah bak merayakan sebuah pesta besar. Dari anak kecil, hingga mbah-mbah! Bekal mereka bisa dua macam, satu sachet sampo, atau sebungkus sabun padat.

Versi pertama, tambak menjadi tujuan awal bagi mereka yang baru saja keluar rumah. Usai berenang sepuasnya, giliran membilas badan yang dilakukan di bawah guyuran air hujan. Bersih, pulang, membilas lagi, dan tinggal menikmati berbagai jajanan gorengan yang jadi ciri khas hampir setiap rumah.

Versi ke dua, jalan-jalan dulu sepuas-puasnya berkeliling kampung menikmati siraman hujan. Syukur-syukur acara keliling ini bisa sekalian menjemput teman-teman lain yang pastinya kebanyakan akan memutuskan turut serta keluar rumah. Jika massa sudah terkumpul banyak, waktunya sesi bermain di dalam tambak. Adu renang, menggoda kelompok lain, atau sekedar berdiam diri di tepian. Bilasnya dilakukan di rumah masing-masing, atau di dalam tambak itu juga.

Dan mereka semua tidaklah pernah menyiarkan kabar jika si A sakit usai bermain hujan-hujanan. Atau, Si B masuk rumah sakit karena demam akut. Semuanya selamat, semuanya senang, dan semuanya menganggap itu sebagai ritual tradisi.

Kini, Opik mengulang kenangannya, dengan optimisme jika ia pastinya tidak akan sakit akibat kehujanan. Lamunannya akan tanah nenek moyangnya pun membuatnya tak sadar jika ia sudah berada di depan pagar kos tempatnya tinggal.

Meski ia optimis tidak akan sakit, namun tetap saja ia ingat petuah sang ibu. “Masak air panas buat mandi jika habis kena hujan. Biar tak sakit dan menggigil engkau setelahnya!” Dan petuah itu ia turuti dengan patuh kini.

Namun, optimisme Opik mulai mengikis ketika dirasanya sedikit rasa tidak mengenakkan menyerang di bagian kepalanya. “Walah, petuah ibu pun sudah kuturuti. Kenapa pula kepala ini masih terasa pening?” desah Opik.

Jurus kedua lalu ia lakukan. Membuat secangkir minuman coklat panas, campur kopi seujung sendok. Lumayan, jurus itu agak meredakan peningnya. “Hm, mungkin jika petuah ibu dan minuman ini tidak aku minum, entah apa pula ya rasa badan ini?”

“Kenapa Pik?” Bagus membuka pintu kamar Opik dengan kepala yang hanya menyembul.

“Entahlah ini, agak tak beres badan rasanya!” senyum Opik sedikit menyengir.

“Itulah engkau ini, buat sensasi tak jelas di waktu hujan deras. Kesambet apa kau pulang dari kampus tadi?”

“Ah, tak ada lah. Hanya ingin suasana beda saja!”

Bagus paling hapal dengan Opik, tentang kebiasaannya yang tak bisa mudah untuk dikalahkan bantahannya. Dan akhirnya, Bagus memilih pergi dari kamar Opik sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Opik mengambil sarungnya, memilih tidur bergaya udang melingkar, dan lalu memejamkan mata dengan senyum mengembang.

“Drt… drt…” nada getar di ponsel Opik yang dinonaktifkan suaranya membuat mata Opik kembali terjaga. Telepon dari Indah, dan ia memutuskan untuk menerimanya.

“Pik, maaf ya tadi aku nggak langsung jawab. Kamu marah ya? Uhm, tadi kok sampai aku lihat kamu hujan-hujanan begitu.”

“Hehehe…” Opik terkekeh. Itulah yang ia suka dari Indah, selalu memberinya perhatian di saat yang tepat.

“Pik, beneran deh aku minta maaf. Sulit lah Pik buat jawab. Engkau itu sudah aku anggap sebagai teman yang dekat sekali. Sampai tak bisa lah dibilang ada rasa spesial.”

“Hm…” Opik cuma mengeluarkan suara deheman panjang.

“Eh, hei, kamu sakit ya? Dari tadi kok tak seberapa ada suara begitu?”

“Ah, biasalah ini Ndah! Akibat lama nggak main hujan-hujanan!”

“Uhm… nggak gara-gara aku nggak jawab?”

“Hahaha… tak sampai gitu lah Ndah! Cuma ingin suasana unik dan beda saja hari ini. Bisa menyatakan rasa suka ke kamu, main hujan-hujanan setelah lama tak pernah main hujan, yah… ingin hari yang beda saja!”

“Jadi, nggak usah langsung aku jawab, uhm… nggak apa-apa kan?”

“Hahaha, emangnya aku tadi tanya apa? Aku cuma bilang suka. Nggak nanya apa-apa kan?”

Lama tak ada suara dari Indah.

“Halo… halo…”

“Lha, terus maksudnya apa sih Pik? Wah, aku yang udah kege-eran ya?”

“Ah sudahlah, kita bicarakan lagi besok kalau ketemu di kampus yah? Oke?” Opik ingin menyudahi teleponnya.

“Oke.”

Usai telepon terputus, Opik tersenyum. Tiba-tiba rasa nyeri di kepalanya hilang, dan tubuhnya merasakan hangat yang menjalar. “Hari ini aku puas!” cetusnya dan kembali meneruskan tidur gaya udangnya. Ternyata ramalan bintang yang tadi sempat dibacanya, yang selama ini selalu tak pernah ia percaya, justru jadi inspirasinya hari ini. Cobalah sesuatu yang unik!

Catatan: Cerpen ini saya buat spontan setelah membaca quotation mantan mahasiswa saya di Politeknik Batam. Jadi untuk siapapun yang merasa, hehehe… ini hanya rekaan fiksi saja lho!

HUJAN

Oleh: Ika Maya Susanti

“Saya suka kamu!”

Hening. Satu, dua, tiga, hingga berapa detik pun berlalu dengan hitungan yang hampir bersamaan di masing-masing hati Opik dan Indah. Tolehan kepala yang bersamaan membuat kedua wajah mereka bersemu merah. Lalu, masing-masing kepala itu kembali terpekur menatap sepatu masing-masing.

Sepatuku masih sama, pikir Opik. Dan ia pun lalu menatap langit yang ternyata sudah berubah sejak terakhir ia memandangnya. Sebelumnya penuh berawan putih. Namun, kini telah berubah menjadi hitam pekat menggantung. Cuaca Batam memang selalu tak menentu, batin Opik.

“Oke deh, aku pulang sekarang.”

“Nggak perlu jawabannya sekarang kan?”

Opik menggeleng sambil tersenyum. Tubuhnya setengah melompat dari posisi duduknya. Lalu berjalan menyeberangi halaman kampus. Ketika kakinya menginjakkan area pejalan kaki yang beratap, hujan lalu turun cepat menderu. Sampai di ujung area pejalan kaki, hujan makin menjadi. Ia tak siap dengan jas hujan karena berpikir pastinya hari yang cerah di pagi hari tidak mengundang hujan di sore harinya. Meski ketika hujan seperti sekarang ini pun ia lalu kembali tersadar, bahwa Batam tak pernah mengenal cuaca.

Sedia payung sebelum hujan? “Huh, pantang! Nggak banget deh kalau cowok pakai payung ke mana-mana! Apalagi dengan versi warna kembang-kembang atau yang ngejreng seperti pink, kuning, atau biru! Hitam? Emangnya mau ngelayat?” selalu itu yang ia rutuki jika sedikit saja terbersit kata payung saat hujan menjebaknya seperti sekarang.

Kos tempat Opik tinggal berada di seberang kampus. Jika menyeberangi jalan dua arah, ia tinggal menuruni tanah setapak yang menurun dan menghubungkan jalan besar dengan perumahan tempat kosnya berada. Namun jika hujan begini, jangan harap untuk mencoba jalan setapak itu. Karena yang ada justru kegiatan land skating, pengganti ice skating, yang bisa menuntutnya. Sudahlah menurun, tanah merah itupun akan nampak belikat dan licin dipijak.

Berjalan memutar! Sepertinya tiada solusi lain yang bisa ia miliki saat hujan yang deras dan langit yang sepertinya tak jua memudar pekat hitamnya. “Nggak ada salahnya bukan mencoba sesuatu yang berbeda sekali-sekali. Biar makin lengkap sudah keunikan hari ini!” pikir Opik.

Saat Opik memutuskan menerobos hujan, berjalan menyeberang jalan, tanpa payung atau jas hujan, seseorang yang berdiri di tepi Opik seketika bernafas lega. Cukup lumayan sudah ia berharap sesuatu yang sepertinya mustahil, ada orang di sekitarnya yang sudi memberikan sedikti tempat untuk menyelamatkan sepatu sneakernya yang basah tersiram hujan, di tengah hujan deras yang siapapun pasti berpikir normal untuk berteduh. Dan ketika Opik pergi, ia seperti melihat sebuah keajaiban tiba-tiba terjadi.

Namun hanya ia sendiri yang tak berpikir seperti kebanyakan orang yang menujukan tatapannya ke arah tubuh Opik. Hujan deras, main hujan-hujanan, pasti bukan orang waras! Batin banyak orang kompak. Tapi seperti tahu jika dirinya sedang menjadi pembicaraan batin banyak orang, Opik lalu mengedarkan pandangannya. Tersenyum!

“Benar-benar anak yang kurang waras!”

“Eh, bukannya itu kawan engkau?”

“Iya, satu kos aku. Ah, biar sajalah dia berulah. Tinggal aku lihat lah bagaimana ia terkapar nanti di kamar,” sahut yang lain.

Opik jelas tidak mendengar. Ia asyik berjalan santai, tidak terburu-buru, dan begitu menikmati tetesan-tetesan besar hujan yang menerpa kepala hingga tubuhnya.

Opik rindu bermain dengan hujan. Ia ingat pertama kali ketika memutuskan bermain dengan hujan, saat berada di rumah mbahnya yang ada di Lamongan. Ada sebuah tambak di depan rumah mbahnya. Setiap kali hujan, orang pun banyak keluar rumah bak merayakan sebuah pesta besar. Dari anak kecil, hingga mbah-mbah! Bekal mereka bisa dua macam, satu sachet sampo, atau sebungkus sabun padat.

Versi pertama, tambak menjadi tujuan awal bagi mereka yang baru saja keluar rumah. Usai berenang sepuasnya, giliran membilas badan yang dilakukan di bawah guyuran air hujan. Bersih, pulang, membilas lagi, dan tinggal menikmati berbagai jajanan gorengan yang jadi ciri khas hampir setiap rumah.

Versi ke dua, jalan-jalan dulu sepuas-puasnya berkeliling kampung menikmati siraman hujan. Syukur-syukur acara keliling ini bisa sekalian menjemput teman-teman lain yang pastinya kebanyakan akan memutuskan turut serta keluar rumah. Jika massa sudah terkumpul banyak, waktunya sesi bermain di dalam tambak. Adu renang, menggoda kelompok lain, atau sekedar berdiam diri di tepian. Bilasnya dilakukan di rumah masing-masing, atau di dalam tambak itu juga.

Dan mereka semua tidaklah pernah menyiarkan kabar jika si A sakit usai bermain hujan-hujanan. Atau, Si B masuk rumah sakit karena demam akut. Semuanya selamat, semuanya senang, dan semuanya menganggap itu sebagai ritual tradisi.

Kini, Opik mengulang kenangannya, dengan optimisme jika ia pastinya tidak akan sakit akibat kehujanan. Lamunannya akan tanah nenek moyangnya pun membuatnya tak sadar jika ia sudah berada di depan pagar kos tempatnya tinggal.

Meski ia optimis tidak akan sakit, namun tetap saja ia ingat petuah sang ibu. “Masak air panas buat mandi jika habis kena hujan. Biar tak sakit dan menggigil engkau setelahnya!” Dan petuah itu ia turuti dengan patuh kini.

Namun, optimisme Opik mulai mengikis ketika dirasanya sedikit rasa tidak mengenakkan menyerang di bagian kepalanya. “Walah, petuah ibu pun sudah kuturuti. Kenapa pula kepala ini masih terasa pening?” desah Opik.

Jurus kedua lalu ia lakukan. Membuat secangkir minuman coklat panas, campur kopi seujung sendok. Lumayan, jurus itu agak meredakan peningnya. “Hm, mungkin jika petuah ibu dan minuman ini tidak aku minum, entah apa pula ya rasa badan ini?”

“Kenapa Pik?” Bagus membuka pintu kamar Opik dengan kepala yang hanya menyembul.

“Entahlah ini, agak tak beres badan rasanya!” senyum Opik sedikit menyengir.

“Itulah engkau ini, buat sensasi tak jelas di waktu hujan deras. Kesambet apa kau pulang dari kampus tadi?”

“Ah, tak ada lah. Hanya ingin suasana beda saja!”

Bagus paling hapal dengan Opik, tentang kebiasaannya yang tak bisa mudah untuk dikalahkan bantahannya. Dan akhirnya, Bagus memilih pergi dari kamar Opik sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Opik mengambil sarungnya, memilih tidur bergaya udang melingkar, dan lalu memejamkan mata dengan senyum mengembang.

“Drt… drt…” nada getar di ponsel Opik yang dinonaktifkan suaranya membuat mata Opik kembali terjaga. Telepon dari Indah, dan ia memutuskan untuk menerimanya.

“Pik, maaf ya tadi aku nggak langsung jawab. Kamu marah ya? Uhm, tadi kok sampai aku lihat kamu hujan-hujanan begitu.”

“Hehehe…” Opik terkekeh. Itulah yang ia suka dari Indah, selalu memberinya perhatian di saat yang tepat.

“Pik, beneran deh aku minta maaf. Sulit lah Pik buat jawab. Engkau itu sudah aku anggap sebagai teman yang dekat sekali. Sampai tak bisa lah dibilang ada rasa spesial.”

“Hm…” Opik cuma mengeluarkan suara deheman panjang.

“Eh, hei, kamu sakit ya? Dari tadi kok tak seberapa ada suara begitu?”

“Ah, biasalah ini Ndah! Akibat lama nggak main hujan-hujanan!”

“Uhm… nggak gara-gara aku nggak jawab?”

“Hahaha… tak sampai gitu lah Ndah! Cuma ingin suasana unik dan beda saja hari ini. Bisa menyatakan rasa suka ke kamu, main hujan-hujanan setelah lama tak pernah main hujan, yah… ingin hari yang beda saja!”

“Jadi, nggak usah langsung aku jawab, uhm… nggak apa-apa kan?”

“Hahaha, emangnya aku tadi tanya apa? Aku cuma bilang suka. Nggak nanya apa-apa kan?”

Lama tak ada suara dari Indah.

“Halo… halo…”

“Lha, terus maksudnya apa sih Pik? Wah, aku yang udah kege-eran ya?”

“Ah sudahlah, kita bicarakan lagi besok kalau ketemu di kampus yah? Oke?” Opik ingin menyudahi teleponnya.

“Oke.”

Usai telepon terputus, Opik tersenyum. Tiba-tiba rasa nyeri di kepalanya hilang, dan tubuhnya merasakan hangat yang menjalar. “Hari ini aku puas!” cetusnya dan kembali meneruskan tidur gaya udangnya. Ternyata ramalan bintang yang tadi sempat dibacanya, yang selama ini selalu tak pernah ia percaya, justru jadi inspirasinya hari ini. Cobalah sesuatu yang unik!

Catatan: Cerpen ini saya buat spontan setelah membaca quotation mantan mahasiswa saya di Politeknik Batam. Jadi untuk siapapun yang merasa, hehehe… ini hanya rekaan fiksi saja lho!

Alamat dan persyaratn mengirim cerpen ke redaksi

Majalah Bobo dan Oki Nirmala
-Dongeng atau cerpen maksimal 3 halaman folio spasi ganda
-Kirim ke alamat redaksi: Gedung Gramedia Majalah Jl Panjang No. 8A, Jakarta Barat 11530
Majalah Girls
-Dongeng atau cerpen maksimal 3 halaman folio spasi ganda maksimal 5.200 dengan spasi
-Kirim via surat berupa naskah dan file dalam disket
-Kirim ke alamat redaksi: Gedung Gramedia Majalah Unit 1 Lt.4 Jl Panjang No 8A, Kebon Jeruk Jakarta 11530
Majalah Kreatif
-Dongeng atau cerpen maksimal 3 halaman folio spasi ganda
-Kirim ke alamat redaksi: Gedung Gramedia Majalah Jl Panjang No. 8A, Jakarta Barat 11530
-E-mail: bonakreatif@gramedia-majalah.com
Kompas Anak
-Cerpen atau artikel
-Panjang 3-4 halaman
-Kirim via surat: Jl Palmerah Selatan No 26-28 Jakarta 10270
Majalah Bravo
- Panjang naskah sekitar 500-600 kata
- Alamat: PT. Penerbit Erlangga Jl. H. Baping No. 100, Ciracas, Jakarta 13740
(021)8717006 Ext.228
- E-mail: redaksi@majalahbravo.com
- Cantumkan subjek ‘naskah cerpen’ atau ‘ilustrasi’
Majalah Mentari
- Jl Sumatera 31-G Lt. 2, Surabaya. Telp: 031-5029642, 5028269
- e-mail: majalahmentari@yahoo.com, atau majalahmentari@plasa.com
Majalah Ummi
- e-mail: ummi@ummigroup.co.id atau kru_ummi@yahoo.com
trus cara tau cerpen kita diterima gimana?
~> rajin-rajinlah mengecek majalah yang kita kirimin karya kita . nggak harus beli , kita bisa numpang baca di kios koran , di Gramed , atau pinjam majalah tersebut di persewaan . bila 3 bulan , batas maksimal kiriman cerpen diterbitkan [lebih dari 3 bulan juga ada sih] cerpenmu belum ada . berarti kamu berhak kok menanyai redaksi . telpon dan cek saja di bagian cerpen , para staf pasti menjawab kenapa cerpenmu belum diterbitkan .
~> bila cerpenmu masuk . staf redaksi [bagian cerpen] bakal meneleponmu dan memastikan kalau cerpenmu akan dimuat pada minggu yang ditentukan , beserta honor yg bakal kamu terima . tapi ada juga majalah yg langsung menerbitkan cerpen , tanpa mengkonfirmasi sang penulis . kalau ada hal seperti ini , karyamu dimuat tanpa konfirmasi , segeralah menelepon balik redaksi tersebut untuk minta kepastian tentang karyamu yg telah diterbitkan itu .

kalo bisa, kasih tau website website majalah remajanya dong.
~> ini syarat dan beberapa alamat majalah remaja :

Majalah Aneka Yess
- cerpen maksimal 7 hlm folio spasi ganda
- sertakan pernyataan cerpen orisinil dan belum pernah dipublikasikan
- kirim ke alamat :
Jl Salemba Tengah No 58 Jakarta Pusat 10440 atau email: aneka@indosat.net.id

Majalah Kawanku
- cerpen dengan jumlah karakter 9100 termasuk spasi
- ketik spasi double
- kirim ke alamat email : kawanku-mag@gramedia-majalah.com, cerpenkawanku@gmail.com
- cantumkan identitas lengkap, alamat, dan nomor rekening

Majalah Gadis
- tulisan untuk rubrik Obrolan, Kuis, Cinta dengan panjang 3-4 halaman folio spasi ganda
- tulisan untuk rubrik Percikan [cerpen mini] dengan panjang 2 halaman folio spasi ganda
- tulisan untuk rubrik cerpen dengan panjang 6-7 halaman folio spasi ganda
- kirim ke alamat Redaksi Majalah Gadis :
Jl HR Rasuna Said Blok B Kav 32-33 Jakarta 12910, email: info@gadis-online.com
- tulis identitas lengkap dan nomor rekening
- cantumkan nama rubrik di kiri atas amplop

Majalah Hai
- cerpen maksimal 7 hlm folio spasi ganda
- kirim ke alamat :
Gedung Gramedia Majalah Unit I Lt.1, Jl Panjang No 8A, Kebon Jeruk, Jakarta 11530
- alamat email: hai_magazine@gramedia-majalah.com

Majalah Annida
- cerpen dalam rubrik Kias dan Epik panjang 6-10 halaman folio
- kirim via surat :
tuliskan nama rubrik di pojok kiri amplop
lampirkan biodata dan kartu identitas
kirim ke Jl Mede No 42 Utan Kayu, Jakarta Timur 13120
- kirim via email:
sertakan biodata lengkap
kirim ke : annida@ummigroup.co.id

Majalah Teen
- kirim cerpen maksimal 6 halaman
- kirim ke alamat Jalan Prof Dr Satrio Kav. 3-4 Karet Kuningan, Jakarta 12940
- atau alamat email ke : tabloid.teen@gmail.com

Olga Magazine
- kirim cerpen maksimal 4 lembar
- spasi 1,5
- alamat :
Jl. Sultan Agung 63 Kav. 5, Semarang 50232
- email : olga_magazine@yahoo.com