Laman

Rabu, 18 Mei 2011

Di Dentang 12 Siang

Oleh: Sb. Rahma

Aku merasa ada yang mengawasiku sedari tadi. Berkali-kali ku longokkan kepala ke kanan-ke kiri, tetap tak ada yang mencurigakan. Di café tempatku makan ini kulihat hanya ada sepasang ibu-bapak dengan kedua anak mereka, beberapa pasang muda-mudi, dan sekelompok cowok berseragam sekolah. Mereka tak tampak mencurigakan.
Aku jadi kikuk sendiri. Maklum, hanya aku yang duduk tanpa seseorang di sampingku. Selebihnya, mereka yang datang selalu ada yang menemani. Akh, mungkin aku memang perlu ke toilet untuk mengurangi perasaan was-was ini.
Begitu kembali dari toilet, kembali mataku dikejutkan oleh secarik kertas di bawah gelas jus ku. Sebuah memo.
Besok jam setengah delapan pagi aku akan mampir kerumahmu.
Ada sedikit kejutan kecil yang ingin ku berikan, special for you…
Your Mr. X
Your Arjuna, si pengirim memo ini. Tapi siapa? Aku tak mengenali inisial ini. Tapi memang dulu saat SD aku sempat memiliki sahabat karib bernama Arjuna. Mungkinkah itu dia? Tapi mengapa tak menemuiku dan hanya mengirimkan memo pendek ini. Atau Arjuna yang lain?
Aku sibuk memikirkan siapa sebenarnya pengirim memo itu. Hingga malam menjemput, rasa penasaranku belum juga sirna. Aku jadi ingin hari cepat berganti esok.
Dan jam menunjukkan setengah delapan pagi seperti isi pada memo itu. Malam mengalir penuh prasangka-prasangka. Seperti Dewi Fortuna yang mendekap malam dalam pekat tak teruraikan.
***
Aku masih ingat saat SD dia selalu memanggilku ‘Honey’.Dengan tatapan tajamnya yang membius itu, dia menatapku lekat-lekat,
“ Honey, ikut aku yuk…”Hanya ajakan itu yang ingin ia ucapkan, namun jantungku sudah deg-degan tak karuan. Jika kalimat itu meluncur dari bibir mungilnya, maka pasti tempat tujuan kami adalah sebuah bendungan terbesar di kotaku, bendungan Wonorejo.

Ya, Arjuna.
Cowok yang saat ini berdiri di depanku tak lain adalah Arjuna, sahabatku sejak SD dulu. Dia jugalah yang mengirimkan memo di mejaku kemarin siang. Masih sama. Arjuna yang tampan, atletis, dan cool. Hanya, sekarang ia terlihat lebih tinggi, mungkin sekitar 170 cm. Padahal dulu saat SD tinggi badannya hanya selisih satu jengkal denganku. Ah…Arjuna. Ia pasti akan terlihat begitu ideal jika tak secuek itu pada cewek.
Sayang, sifat galaknya pada cewek-cewek tak bisa diobati sampai detik ini. Ia hanya akan bersikap baik pada cewek yang ia kenal secara baik. Dulu waktu SD, seorang cewek di kelasku pernah meminjam raket bulu tangkisnya. Aku tahu dia sudah izin, tapi mungkin Arjuna tak mendengarnya, sehingga…
“Shittt!! Bisa nggak sih ngomong dulu sebelum pinjem ?!” Dengan kasar ia membuang raketnya tepat kearah cewek itu, dan tak pernah menggunakan raket tersebut selamanya.
Ku pikir mungkin sifat itu muncul karena ia tak pernah tahu bagaimana seharusnya bersikap pada seorang cewek. Maklum, kelima saudaranya laki-laki semua, pandhawa lima kata orang jawa.
Hari ini dia mampir kerumahku setelah kemarin ternyata dia memperhatikanku saat makan siang di sebuah café. Dia juga ada di gerombolan cowok berseragam yang kemarin memang sempat kulihat di pojok café. Saat mula-mula ngobrol dengannya pembicaraan kami terasa sangat kikuk. Lantaran semenjak lulus SD, aku dan dia hampir tak pernah bertemu. Namun semua berubah ceria ketika kami bernostalgia pada masa-masa SD dulu. Obrolan kami jadi segar dan mengalir lancar. Aku teringat saat-saat terindah menjelang perpisahan sekolah. Waktu itu di acara tasyakuran kelulusan, Arjuna membuat cewek-cewek yang menaksirnya cemburu berat. Padahal itu hanya akal-akalan dia saja agar tak ada yang mengganggunya saat ia sedang makan. Tahu apa yang ia lakukan? Arjuna menyuapiku! Duh…walaupun dia tahu aku sangat malu, tapi dia tetap saja menyuapiku hingga nasiku habis.
Sahabat…dia adalah sahabat terbaikku kala itu. Arjuna tak pernah melukai perasaanku seperti ia melukai perasaan cewek-cewek lain. Ia begitu menjaga sahabatnya. Seperti menjaga barang yang paling berharga di dunia. A sweet memories…Dan saat ini,
“Honey, kita kan udah lama banget nggak jalan-jalan bareng nih…And now, I’ve prepare a special thing for you…” Katanya sembari menatapku lurus. Aku kembali ber dag, dig, dug. Jarak kami begitu dekat!
“ Apa itu?” Tanyaku was-was.
“Udah…pokoknya kamu nggak boleh lepas tutup mata ini…” Ia menutup mataku dengan selembar slayer yang dilipat beberapa kali.
“ Juna…Arjuna apa-apaan sih. Lepasin dong…Mau apa nih?” Rengekku, meronta.
“Pssttt...! No comment, Ok? Ikuti aja. Yang jelas aku nggak bakal nyakitin kamu kok…” Hibur Arjuna.
Ia memapahku menaiki sepeda motornya. Dan deru sepeda motor Arjuna sedikit demi sedikit mulai berderak meninggalkan pekarangan rumahku. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya fikiranku menerka kemana aku akan ia bawa. Tiba-tiba…
“ Juna!!!” Pekikku.
“ Honey, pegangan dong! Ntar kamu jatuh gimana coba?!” Seru Arjuna tak kalah histeris.
Hampir saja tubuhku terpelanting dan jatuh dari sepeda motor. Nafasku tersengal-sengal, berantakan tak karuan. Aku merasakan jalan yang kini kulalui mulai penuh dengan tanjakan dan tikungan-tikungan tajam. Duh, Arjuna…sebenarnya mau kemana ini? Batinku dalam hati. Sementara udara dingin pun juga mulai meresap ke pori-pori kulitku. Tak kudengar bising sama sekali, senyap dan sepi. Mungkinkah…
“ Nah, udah nyampe’, honey. Ayo turun…” Kata-kata Arjuna membuyarkan lamunanku.
Samar-samar ku dengar suara air tertiup angin yang lumayan kencang. Di kejauhan ku dengar pula suara air mengalir deras, seperti sengaja dihentakkan keras-keras ke suatu bejana. Arjuna menyentuhkan tanganku ke suatu pegangan.
“ Oke siap…3…2…1…”
Wuuuwsshh….
Ikatan yang menutup mataku terbuka. Angin sepoi-sepoi menamparku lembut. Hamparan bendungan yang luas bak pesisir kidul itu membuat mataku berbinar gembira. Inilah, tempat yang begitu jarang kusinggahi semenjak aku lulus dari SD. Seluruh kenangan bersama Ratih, Amel, dan Arjuna terekam disini. Kami adalah empat bersahabat yang saling menguatkan dan mendukung satu sama lain. Semua itu menghiasi lembar-lembar memoriku. Begitu kuat mengakar dalam otakku.
“ Honey, tau nggak, waktu kamu sekolah SMP di Bandung, kalau aku ada masalah, pasti larinya ke bendungan ini. Aku sering ngliatin airnya yang tenang. Seperti perasaanku yang selalu tenang saat ada di deket kamu. Rasanya aku nggak bisa menghapus bayang-bayang waktu aku dan kamu kejar-kejaran disini, makan bakso bareng, mancing, keliling bendungan pakai motorboat, hepfft…” Mata Arjuna menerawang jauh. Menilisik tiap jengkal aliran air di bendungan ini. Diantara empat sahabat itu, memang Arjuna lebih dekat dengan aku daripada dengan Amel dan Ratih. Aku bisa merasakan ia sangat menyayangiku.
Bendungan ini…begitu kokoh. Hanya saja lama-kelamaan bendungan kecil dimataku tak bisa menahan airnya. Air mataku mengalir tanpa ku sadari. Menetes deras membasahi pipi.
Aku benar-benar ingat, ketika dulu aku terkena fitnah mencuri oleh Rina dan kawan-kawannya. Tak ada yang mempercayaiku, teman-temanku menjauh satu persatu. Aku merasa dunia begitu kejam padaku. Padahal aku sungguh tak pernah melakukan perbuatan sehina itu. Rina melakukannya, agar guru-guru mnyudutkanku. Ia iri karena wali kelasku sangat menyayangiku kala itu.
Dan Arjuna, dia datang menyandingku. Mengatakan bahwa ia tak akan pernah percaya pada fitnah itu. Arjuna mengajak Ratih dan Amel untuk menghiburku. Bersama, kami pergi ke bendungan. Menghilangkan segala penat dan gelisah. Menuangkan kesedihan kami dengan makan bakso bersama.
Ya tuhan…Itu masa-masa awal kesulitanku. Sahabat-sahabat kecilku itu, mereka layaknya kunang-kunang yang menemaniku dalam kegelapan. Menghiburku dengan sinar keemasan mereka, hingga aku menemukan jalan untuk kembali pulang ke rumah.
“ Honey…” Arjuna membuyarkan lamunanku.
“ I…Iya, Juna…” Sahutku gelagapan. Cepat-cepat kuhapus air mataku. Tapi dengan sigap pula Arjuna menghalaunya. Jemarinya yang hangat, menyeka air mataku sembari berkata pelan,
“ aku nggak mau Honey ku menangis kayak gini. Aku pengennya Honey ku selalu tersenyum, ceria, dan semangat. Bisa kan?” Mata Arjuna lurus menatapku. Mengurungku dalam tatapan teduhnya.
Aku mengangguk.
“ Senyum dong kalau gitu…” Bujuknya lagi.
Kurekahkan bibirku meskipun sebenarnya terlalu sulit.
“ Arjuna, kok kamu nggak ngajak Amel sama Ratih,sih? Aku pengen kita bisa ngumpul bareng kayak dulu lagi…” Kataku kemudian. Karena setelah kucermati, Arjuna tak pernah menyebut nama kedua sahabatku itu.
Seketika, Arjuna melempar pandangannya ke bendungan. Ia seakan tengah menyesali sebuah hal.
“ Nggak perlu! Mereka sombong, udah nggak mau kenal sama kita lagi. Mentang-mentang udah masuk SMU favorit, jadi lupa sama sahabatnya sendiri!” Terang Arjuna pendek. Jelas sekali nada suaranya penuh mengandung kebencian.
“ Tapi gimanapun juga kan mereka temen kita. Nggak mungkin mereka nggak ngenalin kita…” Kilahku.
Arjuna menatapku. Aku melihat api dimatanya membara.
“ Temen? Temen macam apa kalau tega biarin temennya mau mati kehabisan oksigen?! Mereka justru ketawa cekikikan emangnya lucu?!” Kata-kata Arjuna sangat menjelaskan betapa ia kecewa dengan persahabatan yang selama ini kami jalani.
“ Kehabisan oksigen, Juna?” Tanyaku memastikan.
Arjuna mengangguk. Ternyata cafeteria sekolahnya dulu pernah terbakar. Arjuna melihat seorang guru terjebak di sana. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menolongnya. Namun sial, ia justru terjebak kobaran api. Ia nyaris saja terbakar. Arjuna pingsan setelah oksigen disekitarnya seolah terasa habis. Ketika itu ia sempat melihat Amel dan Ratih yang memang satu sekolah dengannya tertawa melihat kondisinya yang sangat tak berdaya itu. Sejak itu, Arjuna tak ingin lagi kenal mereka. Ia teramat kecewa. Apalagi Arjuna tipe cowok yang cepat menangkap kesan di sikap pertama.
Aku tak percaya mendengar cerita Arjuna. Sepertinya tak mungkin jika Ratih yang begitu lemah lembut tiba-tiba berubah menjadi sebegitu tega melihat sahabtnya terluka.Juga Amel yang selalu menghibur kami dulu. Tanpa dia tentu persahabatan kami terasa sangat hambar dan tak berwarna. Benarkah semua telah berubah sealir perkembangan zaman? Tapi bukankah persahabatan tak mengenal pergantian apalagi hanya soal perbedaan sekolah?
“Udah ah, males bahas mereka lagi…” Arjuna Kembali membuyarkan pikiranku yang mengelana. Mencoba menelusuri kebenaran diantara kami.
“ Hmm…ya udah. Aku nggak akan bahas masalah ini lagi”Sahutku meski masih sedikit tak percaya.
“So, sekarang kita mau ngapain nih?” Tanyaku kemudian. Sebisa mungkin kucoba mencairkan suasana yang kurasa mulai menegang ini. Dan benar, Arjuna tersenyum lantas mengajakku ke tepi bendungan. Ia memesan dua tiket untuk mengelilingi bendungan dengan motorboat.
“Ok Honey, aku siap jadi Popeye” Kelakarnya bahagia sembari menirukan gaya tokoh kartun tersebut.
Aku senang melihat senyum dan semangat Arjuna kembali seperti sediakala.
“Hmm…kamu jadi Olive nya, ya?” Tambahnya masih bercanda.
“ Ha, aku?” Tanyaku memastikan.
“Iya kamu, Honey…mau kan?” Ia masih cengar-cengir.
“ Oke lah…” Sahutku akhirnya.
Motorboat kami meluncur membelah air bendungan. Udara disekitar bendungan ini sangat segar, meskipun matahari amat terik bersinar. Disana-sini pegunungan tertata rapi membentengi kawasan bendungan. Pepohonan pinus yang tumbuh subur di tepinya semakin memanjakan setiap mata yang memandangnya.
Aku dan Arjuna terus terlibat obrolan-obrolan ringan yang damai. Sedamai suasana hati kami saat ini.
“ Honey, hari ini kan hari Valentine…”
“ What, Valentine? Bener?” Tanpa sadar aku memotong kalimat Arjuna.
“ Lho, baru nyadar?”
Aku mengangguk, masih tak percaya.
“ Duh, baru tidur abadi, nih? Sampai-sampai nggak sempet liat kalender…”
“ Arjuna, aku nggak perhatian sama kalender kalau lagi liburan gini…” Jelasku.
Arjuna menghela nafas panjang.
“ Oke, jadi hari inikan hari Valentine, aku nggak bisa kasih kamu sesuatu kayak coklat, boneka, souvenir cantik, atau apalah itu sebutannya. Buat aku itu udah terlalu biasa. And…kado Valentine ku kali ini buat kamu adalah…” Sampai disitu kalimat Arjuna terpotong.
Air mukanya berubah serius. Ia seperti tengah mempersiapkan sesuatu yang terlalu sulit untuk bisa dikatakan.
“ Valentine kali ini, ku berikan hati aku sepenuhnya ke kamu, Honey. Aku harap kamu bisa menerimanya, hari ini…” Tatapan mata Arjuna lurus mengarah pada kornea mataku.
Dari sinar matanya itu kemudian kutemukan rongga ketulusan yang begitu dalam. Cepat-cepat kualihkan pandanganku. Melirik jarum jam tangan milik Arjuna, tepat pukul 12 siang. Kondisi batinku persis layaknya sinar matahari yang tepat mengenai ubun-ubun ku, bergemuruh hebat. Aku sangat menyayangi Arjuna. Sepenuh hati, setulus jiwa. Dia juga tampan, berprestasi dalam olahraga, dan sangat baik padaku. Tapi, sampai detik ini perasaanku pada Arjuna hanya sebatas rasa sayang sebagai seorang sahabat. Aku menikmati hubungan kami saat ini, tanpa ingin ada yang lebih dan special.
Dulu aku memang terlalu sering mendengar Arjuna berkata, “ I love you, Honey”. Saat itu aku menganggap ia sedang bercanda, bagiku itu adalah sebagian dari lawakannya. Hanya saja saat ini sepertinya lain. Dia bukan mencintaiku sebagai sahabat lagi. Dia mencintaiku layaknya seorang pria dewasa pada wanita dewasa.
Lidahku kelu. Suara Arjuna terdengar samara di telingaku. Sepertinya dia sedang meminta aku menjawab. Ya Tuhan, Bagaimana ini? Jika aku menolaknya, pasti ia akan sangat terpukul. Arjuna belum pernah pacaran sekalipun. Aku tahu hatinya tak akan terima jika aku menolaknya.
“ Juna…Aku ingin bersahabat selamanya sama kamu. Kamu tahu, bagiku persahabatan itu lebih indah dari apapun. Persahabatan akan abadi selamanya dan tak lekang oleh zaman. Kamu mengerti kan maksud aku…?” Akhirnya kujawab dengan sebuah gambaran kecil tentang persahabatan.
Arjuna menunduk dalam-dalam. Terdiam tak mengucap suatu kalimat pun. Berkali-kali ku dengar ia menghela nafas berat. Tuhan… Apa aku gadis yang paling kejam sedunia? Aku tak mau melihat Arjuna bersedih seperti ini gara-gara aku. Namun aku juga tak bisa melanggar prinsipku sendiri.
“ Honey…” Lirih Arjuna kemudian.
“ Ya” Sahutku cepat.
Ia masih menundukkan wajahnya.
“ Ini Valentine terindah, Honey…Aku tahu kamu akan mengatakan hal itu. Meskipun berat dan sakit rasanya, tapi aku percaya apa yang jadi keputusanmu, berarti itu yang terbaik buat kita. We’re Friendship forever, iya kan…?” Arjuna tersenyum sambil menatapku pilu. Kesedihan begitu tampak di matanya.
“ Juna…” Aku tak tega melihat ekspresinya yang demikian sendu. Ingin rasanya saat itu aku menangis di depannya. Tapi entah mengapa air mataku mendadak terasa kering.
“ Nggak papa kok, Honey…I’m Okey. Kamu nggak usah ngrasa bersalahsama aku gitu.Coz, Aku tahu kok kalau sebenarnya kamu itu cinta sama aku. Cuma, cinta kamu dalam bentuk yang lain, yakni cinta sebagai seorang sahabat, gitu kan?” Terlihat Arujna berusaha keras menghapus kegundahan jiwanya.
Aku teridiam tak tahu harus bagaimana sekarang. Tentu pertanyaan Arjuna itu hanya untuk menghibur dirinya saja. Jiwanya, aku yakin masih begitu terluka.
“Honey…” Ia memastikan aku mendengarkan pertanyaannya.
Aku tergagap.
“ I… Iya, Juna. That’s right. We’re Friendship now, tomorrow, and forever” Tandasku mantap.
Kami tersenyum. Menatap bendungan dengan sebuah senyuman abadi. Senyum sepasang sahabat yang tak pernah berhenti menyayangi satu sama lain. Arjuna, walau mungkin hatimu perih, sukmamu terkoyak, aku menghargai perasaanmu yang telah begitu tulus mencintaiku. Aku tahu, untuk menyatakan kalimat itu saja, tentu kamu membutuhkan banyak waktu. Kamu membutuhkan persiapan yang panjang. Aku sangat menyayangimu sobat. Sampai detik aku menulis goresan in, aku masih teramat menyayangimu. Sebagai seorang sahabat, selamanya… Aku jadi teringat satu syair lagu yang begitu mewakili perasaan hati kami saat ini. Meski cinta telah hilang, namun sahabat kan selalu ada disamping kita. Dan tak akan pergi walau sampai tua nanti. Aku akan selalu mengingat kebersamaan kita ini, Arjuna…

Biarkan saja kekasihmu pergi
Lanjutkan saja mimpi yang tertunda
Kita temukan tempat terindah, sahabatku…

- Selesai -

Kamis, 05 Mei 2011

Tasbih Di Penghujung Siang

Sakura mendadak jatuh dalam dekapan Shiwa
Kadang menjelma layaknya Gayatri muda
Mencengkeram sekelumit lara hati sang dara
Kau itu…
Kau kejam sekali!
Menusukku dengan pedang asmaramu
Menyayat-nyayat kalbuku semau perutmu!
Jadikan luka baru bernama ‘Rindu’
Kapan kau mengobatinya? Kapan?!
Siang malam buliran dzikir kurapalkan
Mengaharap tuhan mau mendengarkan
Tentang gelisah dalam relung terdalam
Kemana Kau?!
Kenapa diam saja tak mau menjawab?
Apakah dusta itu akan terus kau lanjutkan?
Menafikkan perasaan yang berkobar didadamu
Demi kehormatan dan nama besarmu
Aku tahu tetes cinta itu juga mengusik mimpi malammu
Tapi kau tak mau menyapanya
Nanti kau akan tahu
Saat aku terlalu jauh dari gapaian tanganmu
Dan kau kan rapalkan pula dzikir pada tuhanmu
Dengan tangis penuh harap
Agar tuhan mendengarkan pintamu


Dari suasana hati biru Sb.Rahma
Purwosari, 19 Maret 2011

Rabu, 27 April 2011

DoReMi 1

DO
Ketika Do, air mataku tak kuasa lagi
Deraian yang tak kunjung henti
Lantaran cinta kumiliki dengan sepenuh hati
Dalam Do kumengerti, cinta tak selalu memiliki
RE
Re mengajariku tanpa ada batasan
Cinta tak mengerti batas negara
Sebab bagaimana cinta tak kuberikan dengan hati
Mi
Kala Mi menyapaku, hatiku tlah kuyu
Menahan luka perih sebab Do
Mi mengerti diriku yang rapuh dan luluh
Kutahu Mi malaikat akhir itu
Maka Mi mencoba kekuatanku
Seberapa tangguhkah DOREMI cinta
Hadapi ujian-ujian cintanya
DOREMI
Kisah cintaku hiasi nada-nada
Mengenal sari pati hidup dalam sua yang lama
Hanya di DO dan MI ku mengerti
Makna cinta yang rapuh namun utuh
Hati yang sepenuhnya kulabuhkan cinta
Seperti layar-layar dalam sentuhan gurindam malam
Mengikuti alunan sabda tuhan nan hakiki
Ku yakini dalam hati ini
Sekuatnya tak kan ada lagi untaian nada selanjutnya
Karena kumengerti, tuhan menuntunku saat ini
Seperti cinta yang terkadang terlalu rumit

DoReMi 2

Ditahbiskan ini, diartikan itu
Hanya hati yang mampu beri jawab
DO
Dalam Do kuakhiri, senja dalam hatiku
Tak kan lagi ada….
Keyakinanku dalam mencintai
Seperti kulit dan tulang yang kukuh
Sebab mencintai serupa konsekuensi
Hanya DO dan MI yang fahami
Lantaran RE hanya ia mencintai tanpa kucintai
Namun RE mengajariku
Bagaimana cinta tanpa batas yang menghalangi
Bahwa cinta kan menemukan kekuatannya
DOREMI
Selaksa skenario tuhan dalam labirin kehidupan
Tuhan, cita dan cinta…
Ketiga aspek yang buatku bertahan hingga
Puluhan realita ini menghujamku
Menusuk serupa jarum-jarum pengait
Mencoba seberapa tangguhkah aku…
Ku yakini, cinta ini sepenuhnya
Dalam sabda tuhan sebagai penuntunku…



Purwosari, 12 juni 2010
Dari suasana hati Sb. Rahma

Teka-teki Hati

Aku merpati yang tiada angkasa
Tuk terbang dalam tetapan masa
Bunga yang tak miliki tanah
Tuk berakar di satu daerah
Kali ini gerbangku tertutup
Frekwensinya melemah pendek
Teri basi, angka hoki, kotak mati, merak hati!
Teka-teki apalagi?
Kadang dunia jadi sangsi
Hanya karena aku butuh kata sendiri
• Dalam kotak mati irama terpati
• Untuk angka hoki jelmaan iblis belibis
• Bahwa teri basi kadang begadang
• Lantas bagaimana ada merak hias hati?
Adakah yang lebih phobia dariku?
Tentang hidup berjuta perih sembilu
Tapi aku masih berdarah merah
Beruntung aku tanpa luka tercabik lebar
Dari besi karatan berbara tajam
Ingin, seribu tekadku menciumi mereka
Yang kulitnya merah berbalut nanah
Kepala bopeng-bopeng dihantam missiu
Fosfor putih menyedot daging-daging suci
Kalahkan roti kudus yesus dipagi rohani
Aku….
Merpati tiada angkasa
Bunga tanpa daratan
Namun hidup masih berjalan…
Purwosari, 5 Maret 2009

Ekpresi ‘A’

Rellora…Rellora…Rellora…!!
Kedai kecil ditepi bukit sangkar bumi
Diterpa bising tak bertepi
Jauh menyiar peluh tatanan angkuh
Rellora menyeka tangis tentang aking
Dan kedai pun tergulung tanah besi hilang hati
Rellora…Rellora…Rellora…!!
Dipeluk kantong-kantong duka
Duduk-Tidur-Makan bahakan kencing!
Hanya menatap kentucky sambil menggenggam aking
Menatap Sophie Martin seraya berlenggak-lenggok
Dengan menjinjing tas kereseknya
Ia bermimpi…
Jadi artis seperti di TV
Berlari ia tanpa letih
Kembali masuk kedai
Ia jadi artis
Dalam dentum musik cord
Dugem istilah magicnya
Rellora…Rellora…Rellora…
Tenggelam diantara gelap kedai
Tak tersibak tabir batinnya
Asal ia jadi artis
Dari kedai, karena kedai, termakan kedai
Bukan salah ia begitu…
Ia hanya korban…

Pengamatan Sb. Rhma
Purwosari, 11 Maret 20010

Gengsi Terpeta

Sekat yang bukan sekedar
Semu serupa fatamorgana kala purnama
Ada baying tak terjamah, tak berubah
Menjabarkan keabstrakusan rasa
Sembunyikan nyanyian cinta dalam kaca nebula
Akh…ada gengsi terpeta
Antara dua hati yang berani kenali cinta
Tergeletak lesu, lunglai, trauma, depresi
Tertawa bahagia, ceria, berbinar, gembira
Semua atas peran dewi cinta
Selalu begitu di tiap tangis menyentuh tawa
Semerbak tawa ternodai tangis jua
Sama…
Hanya gengsi dominasi hati
Tapi cinta tak mampu di halau lagi
Antara dua jiwa terpisah lara
Jadikan nuansa kala bertemu
Di pertemuan kedua….


Dari suasana hati Sb. Rahma
Purwosari, 18 juni 2010

Rasa Yang Terpantul

Dalam yang tercipta bak oase
Bening, teduh, namun angkuh
Tergelar begitu saja layaknya misteri
Makin panjang dan dalam
Tatkala ku salami lekat-lekat
Saat kusadar dalam menit berikutnya
Ada rasa yang tak kupahami
Yang masih terlalu rapuh tuk disentuh
Yang suci seperti bayi
Hmm….Cintakah?
Aku belum faham secara pasti
Namun rasa ini kuyakini
Ku sematkan dalam bingkai hati
Dalam kusen-kusen jendela sukmawi
Bak mawar darah menghias diri
Atau wangi melati putih suci
Yang dihantar sang merpati
Kelilingi hijaunya dewi pertiwi…


Dari suasana hati Sb. Rahma
Purwosari, 22 juni 2010

Tanya Cinta

Apabila cinta telah menjelma dalam hatiku
Mulutku kelu tuk jelaskan
Rasioku mendadak rentan tuk dikendalikan
Apabila wangi cinta telah membiusku
Tak dapat kumengerti apa mau hati
Tak dapat kusangka apa mau dikata
Tak dapat kujelaskan gemuruh kerinduan
Akh cinta…Kadang buatku jadi tak memahami
Rasa yang kualami sendiri, namun pasti
Tak akan ku nodai makana dari cinta itu sendiri
Bahwa cinta bukan nafsu belaka
Bahwa cinta bukan gengsi belaka
Bahwa cinta bukan karena terpaksa
Tapi cinta lillahi ta’ala…


Dari susasana hati Sb. Rahma
Purwosari, 2 juni 2010

mY describing about love

When I falling in love…
My heart will gether with fly
Share the sprinkle of glory night
Acompanny the star and blue moon
To reach manything that amazed
And I can’t say anymore
Because… I love him based on my god
I’ll be more and more strong
If he always beside me, acompanny and smile for me
Deep from my heart, I say, I love you Dzie…





Dari suasana hati Sb.Rahma
Purwosari20 Juli 2010
Especially for Dzie…

Titik awal

Tanpa alasan…
Mengalir ibarat air…
Berderak sealir darah
Menggema dalam palung jiwa
Tak ku sadari hatiku tlah terbawa
Dalam kepekatan malam-malam Mei
Menelusuri virus apa infeksi hati
Yang kurasakan dalam detik selanjutnya
Ini cinta…
Hanya lagi-lagi naluriku mengusik
Aku rapuh jiwa terluka
Pada Yang Esa ku gantungkan tanya
Silahkan jawab, ku kan mengungkap
Ini awal bukan akhir….


Dari suasana hati Sb. Rahma
Selasa,15 Juni 2010

I feel…

Denyut yang tak ku kenali sebelumnya
Berdenyut manja dalam dada
Seakan tak ingin lepas dan menjauh
Utuh ku miliki disini
Namun takdir menjwab lain
Ingin kisahkan yang tak biasa
Buat rasa ini remuk redam menahan rindu
Demi cinta nan luhur, mendesau di ujung langit
Seperti bintang gemintang menjawab
Bagai kesiur angin mendenging gemertak
Kulukis kanvas itu dengan
Merahnya perjuangan
Putihnya kesucian
Dan jingga karena cinta
Biru, ungu, kuning atau kelabu
Sulit sebenarnya kulukiskan lewat lagu
Namun satu diucap sebab rindu
Akan rasa yang kujaga selalu
Cinta ini kumiliki karenamu…


Dari Suasana Hati Sb. Rahma
Selasa, 17 Agustus 2010

Stomata Cinta

Kau serupa merpati diantara lainnya
Terbang lepas membelah cakrawala
Lantas kau letakkan sebuah kelopak dari tamn-taman cinta
Dihatiku yang kerontang tanpa daya
Kubiarkan ia tumbuh hingga berbunga aneka warna
Kurasakan kesejukan dihatiku seketika
Tiada lagi hati tandus sebab lara
Tapi kau jahat !
Kau nakal !
Ketika kuncup-kuncup cinta mulai bermekaran
Kau biarkan aku sendirian menanggungnya
Sedang kau terbang entah kemana
Merpatiku cinta…
Kutunggu kau di ujung nyata
Setelah raih semua cita


Dari suasana hati Sb.Rahma
Purwosari,21 Agustus 2010

Jeritan Kalbu

Kasih…Biar ditulis seribu kali
Laila- Majnun, Rome- Juliet, Ataupun Arjuna- Srikandi
Mengapa tak ada yang mewakili perasaanku secuilpun?
Rasa yang menetes perlahan…
Bak setetes embun di bening pagi sang dewi
Dari rasa tanpa suara, tak ada awalnya
Lantas mengakar kokoh dalam sarat jiwa
Bukankah ganjil??
Namun itulah cinta
Membingungkan juga mendebarkan
Buat rasamu dan rasaku remuk redam menahan rindu
Jadi satu bersama seluruh rambu-rambu
Kau dan aku adalah bukti kesekian kali
Tentang hakiki yang abadi
Begitu pula kau, jangan buatku membeku
Lantaran telah kau curi sebentuk cintaku
Kau satukan dengan sebentuk cintamu
Hingga menyatu tak lepas waktu....


Sengonagung, 5 Desember 2010
Dari suasana hati Sb. Rahma

Jeruji Penguji

Jiwa ini luruh dalam rapuh
Akan panggilan laksana jeritan jahannam
Yang datang bergantian mencekik pati
Remuk sudah gedebam cita- cinta
Dirangkul cakar-cakar serupa pedu sembilu
Kau masih disana.... Ku masih disini
Menunggu waktu berikan toleransi
Sungguh, sakit ini belum sembuh hingga kini
Kau yang menyekanya hingga tawa tersembul dariku
Tapi tuhan tetap penyayang
Disiramkannya lagi lara tuk kita berdua
Berharap sabar hadapi jeritnya
Dan kita bertahan tuk kebahagiaan
Nan abadi kata Tuhan....


Sengonagung, 11 Desember 2010
Dari suasana hati Sb. Rahma

Selubung Rindu

Ini bukan lagi yang ada
Sebagaimana malam-malam
Merajut mimpi di kegelapan
Rasanya sedikit jingga
Hanya tertumpu pada nyanyian sunyi
Yang menggelitik diri tuk mengetahui
Sindrom apa menyandra hati?
Sebab ku tahu ku bukan lagi subuh pagi
Kini hari telah sedikit siang
Hampir merasuk pada heningnya senja
Maka izinkan ku ungkapkan sejenak
Cinta ini membingungkan ku
Ada rindu yang menjelma di kegelapan
Namun hati cukup malu tuk akui
Apalagi katakan jika malamku
Mencipta bayangmu di bohlam itu
Sesak rasanya…
Dua mingguku kulalui tanpamu
Jika tahajudku kemudian berisi tentangmu
Juga do’a yang panjang tercipta begitu saja
Jangan tanyakan padaku…
Karena aku pun tak tahu
Dari mana semua itu berasal
Yang ku tahu hanya sebatas rasa
Inginkan kehadiranmu disini…


Dari suasana hati Sb. Rahma
Purwosari 15 Desember 2010

Gelisahku Untuk Cinta

Cinta… Pedih dimatamu jadi perih dihatiku
Jika kau menyadari saat kau lihat mataku
Ada seribu resah yang mengiringi keresahanmu
Mengikuti kegundahan batinmu
Cinta… Inginnya tangan ini menghapus kabutmu
Namun rasanya belum boleh kulakukan itu untukmu
Hanya untaian do’a slalu kupinta ditiap jamku
Agar kau selalau dalam lindunganNya
Dalam ridho dan tuntunanNya
Cinta… jujur dari relung haiku
Aku merindukan senyummu…
Senyum yang membuatku ikut tersenyum
Menyapa hari penuh semangat nan ranum
Tapi sekarang, dengan apa kukembalikan
Senyummu yang mendadak hilang
Seolah ceriamu juga menguap terbang
Tersenyumlah cintaku…
Sambut harimu slalu…karena ku tak ingin kau layu
Cinta ini tak kan pernah meninggalkanmu
Karena hatiku tak mau pindah dan beranjak
Kini…ku hanya bias menunggu kehendak kuasa
Sang Maha Cinta, Allah Azza Wa Jalla...


Purwosari, 30 Januari 2011
Dari suasana hati Sb.Rahma
For Dzie.

Harpa Sang Mentari

Sosokku…
Berdiri jauh merentas arak-arakan awan
Menyusup dalam singgasana tak berbayang
Memuja Hyang Esa, memuji gema malam
Ketika bertanya sosok itu,
“Dimana wangi bumimu, mengapa hanya angkasa,
Kau kutib dalam naskah sejarahmu?”
Aku diam hanya memandang
Tanpa kata, hanya menerawang
Ku tatap erat seruan-seruan tirta diri
Entah mengapa selalu mengutus mencapai surya Illahi
Diriku hanya sanggup menjalani
Tak berani ubah skenario Gusti
Do-do-Re-re-Mi-mi-DoReMi
Dering-dering nada kehidupan menuju falsetto
Kian lama kian mendemo
Menggedor-gedor gerbang jiwa di Astana Apollo
Kemudian bertahan selamanya untuk kesetiaan
Selamanya…
Sampai siluet memanggil kelam
Tuk kenakan jubah malam keperakan….

Dari suasana hati Sb.Rahma
Purwosari, 23 Oktober 2010

Nama Yang Hilang

Mendadak pudar
Raib didera gundah malam
Entah siapa jadi empunya
Munguak jam panjangku dijuwita kelabu
Ada satu yang tersisa
Hanya satu
Begitu saja mengusik hariku
Dengan bayangnya yang bersemu kemerahan
Akankah lama ia bersamaku disini?
Hanya DIA yang tahu
Cukup DIA jadi pengatur dentang kehidupan
Cinta salah satunya
Dalam setiap sedu sedanku
Nama itu menucul
Mengusir semua itu dengan denyut nadinya
Hingga hilang punah nama pertama
Karena tangis selalu dicipta olehnya
Hingga nama itu menghapus tangisku
Selalu, selamanya…
Begitu bunyi deringan panjatku pada DIA…




Dari suasana hati Sb. Rahma
Dalam kesunyian semu bulan Maret
Ma. Darut Taqwa, 21 Maret 2011

Salahkah?

Bintang itu tersipu dipingan awan yang menguak satu-satu
Menyemai pilu, berbaris penuh rindu
Terpeluk sunyi yang lama-kelamaan merapuh
Oh Salahkah?
Bila bara itu mengaum dihitamnya keanggunan
Yang lama tertidur dalam pesona Maha Diam
Salahkah?
Karena bintang tetaplah bintang
Piranti miliunan angkasa petang
Dating tanpa undangan dan permintaan
Bukan kehendak siapa saja
Namun salahkah?
Bila tercipta jutaan Tanya di nebula
Menyeringgai di batas horizon seperti tawa
Pinta jawaban dari seonggok rasa tanpa suara
Jadi salahkah?
Jika rasa itu mencuat begitu saja dalam sergapan Andromeda
Kemudian berkembang sepat menggeliat hebat
Apa salah?


Dari Suasana Hati Sb. Rahma
Purwosari, 15 Maret 2011

Selasa, 26 April 2011

Balada Pencari Cinta

Kesiur angin menjelma jadi kelabu
menyisakan sajak-sajak panjang dalam kekelaman
Entah mengapa saat itu hatiku jadi membiru
Hingga kaku bak bongkahan salju kutub utara
Karena dia hanya membungkam…
Entah mengapa, mungkin ada pengganjal
Dalam jiwa yang rapuh penuh pengekang
Sanggupkah sosok itu bertahan ??
Lantaran ia hanya memerlukan penopang
Dalam hidupnya, untuk cintanya…


Dari Perasaan Sb. Rahma tentang Dzie
Purwosari 18 Maret 2011

Balada Pencari Cinta

Kesiur angin menjelma jadi kelabu
menyisakan sajak-sajak panjang dalam kekelaman
Entah mengapa saat itu hatiku jadi membiru
Hingga kaku bak bongkahan salju kutub utara
Karena dia hanya membungkam…
Entah mengapa, mungkin ada pengganjal
Dalam jiwa yang rapuh penuh pengekang
Sanggupkah sosok itu bertahan ??
Lantaran ia hanya memerlukan penopang
Dalam hidupnya, untuk cintanya…


Dari Perasaan Sb. Rahma tentang Dzie
Purwosari 18 Maret 2011

Tasbih Di Penghujung Siang

Sakura mendadak jatuh dalam dekapan Shiwa
Kadang menjelma layaknya Gayatri muda
Mencengkeram sekelumit lara hati sang dara
Kau itu…
Kau kejam sekali!
Menusukku dengan pedang asmaramu
Menyayat-nyayat kalbuku semau perutmu!
Jadikan luka baru bernama ‘Rindu’
Kapan kau mengobatinya? Kapan?!
Siang malam buliran dzikir kurapalkan
Mengaharap tuhan mau mendengarkan
Tentang gelisah dalam relung terdalam
Kemana Kau?!
Kenapa diam saja tak mau menjawab?
Apakah dusta itu akan terus kau lanjutkan?
Menafikkan perasaan yang berkobar didadamu
Demi kehormatan dan nama besarmu
Aku tahu tetes cinta itu juga mengusik mimpi malammu
Tapi kau tak mau menyapanya
Nanti kau akan tahu
Saat aku terlalu jauh dari gapaian tanganmu
Dan kau kan rapalkan pula dzikir pada tuhanmu
Dengan tangis penuh harap
Agar tuhan mendengarkan pintamu


Dari suasana hati biru Sb.Rahma
Purwosari, 19 Maret 2011

Abstrak

Denyut seirama denyut
Hanya kata pada gores tinta terlarut
Polesan yang tersandung dawai-dawai
Entah selintas apa dalam risalah hati
Mungkin cinta mungkin benci
Terbaca kala mata jujur mengakui
Jantung bukan lagi jantung berdebar
Eksotik, bukti hati tengah terbakar
Mungkin benci enggan singgahi hati
Biarkan cinta meraja di persada
Namun luka itu masih merah, berdarah
Ada ketakutan, trauma jadi paranoid
Tak ingin lagi teteskan air mata sebab cinta
Hanya kali ini berbeda…
Yang sajak dihantar do’a-do’a
Jawab-menjawab sekali tuk kembali
Kadang membuncah serupa kilat gemerlap
Kadang utuh, yakin, selaksa rantai-rantai Berlin
Hingga semua tuk jadi semu belaka
Karena suci selamanya kan abadi
Menekuri bayang diri di jendela nurani…


Dari Suasana hati Sb. Rahma
Purwosari, 12 Agustus 2010

Rabu, 05 Januari 2011

Embun jawaban

Oleh: Sb. Rahma

Gita tak faham apa alasan mereka menyingkirkan dirinya dari kelompok itu. Beberapa kali ia mendapati mereka tengah membicarakannya. Tetap, tetap gerombolan yang sering memploklamirkan diri dengan nama ‘Gaster’ itu. Ia pernah mendengar gaster membicarakan tentang hubungannya dengan Kevin, cowok yang dianggap paling cool di kelasnya. Atau menyinggung-nyinggung kekritisannya dalam debat. Sungguh, sorot kesirikan itu sangat kentara dari pandangan yang selalu mereka lempar padanya.
Pagi ini masih sama. Pandangan menantang itu kembali ia dapati ketika pertama kali ia menjejakkan kaki kedalam kelas. Begitu sampai di tempat duduk, ia mendengar beberapa percakapan Gaster yang ditujukan pada dirinya.
“ Duh sombong… banget sih tuh cewek. Sok menyendiri, sok alim, liat aja tuh ampe’ ada tasbih di kotak pensilnya” Seorang menimpali.
“ Punya ilmu nggak bagi-bagi, gue sumpahin nggak bakalan manfaat tuh ilmu” Rutuk yang lain.
Tak ada sedikitpun pandangan manis menoleh padanya. Hingga pelajaran dimulai, ia masih memikirkan pandangan sengit teman-temannya. Tanpa ia sadari air matanya menetes! Tuhan…baru kali ini ia berani membiarkan air matanya mengurai deras. Ia segera bersembunyi dibawah tempat duduknya. Meringkuk sendirian dalam tangis yang makin deras.Hingga sebuah tangan mungil mengusap punggungnya lembut, pastilah itu sahabat karibnya si Anis.
Ya, ini merupakan yang kesekian kalinya. Benar-benar terpuruk kondisi gadis berwajah dingin itu. Keinginannya keluar dari yayasan ini mendadak seperti tergenapkan setelah selama ini ia memendam semua kegelisahannya dan berusaha cuek untuk bersabar. Gita sebenarnya tak begitu mempermasalahkan gunjingan-gunjingan Gaster yang tentu saja teramat panas bila didengarkan. Namun perilaku genk kelas itu berlebihan. Sampai ia harus merelakan diri untuk bersabar ketika rapotnya ditahan karena masalah yang timbul akibat fitnah itu. Citranya telah terlanjur negative di mata guru-guru.
Gita terpekur. Mengoreksi kedalam dirinya sendiri. Pikirannya melayang entah kemana. Dihantar angin utara bersama sejuta asa yang ingin ia raih. Asa yang selalu terselip diantara do’a dan sujud panjangnya. The five dreams, itu yang ia plannging-kan.
“ Ehm!” Satu deheman tegas.
Gita mendongak, dan mata mereka pun bertemu. Sesaat diam, kemudian pemilik deheman itu beringsut pergi.
“ Git, ngapain dia? Kok tumben banget ketua kelas 2 IPA itu masuk kelas kita..?”
Anis yang sedari tadi ada menemani tangisnya berkomentar.
Gita menyeka air matanya dan karena memang sekejap saja tiba-tiba perasaannya mulai stabil.
“ Aku juga nggak tahu, Nis…” Sahutnya kemudian.
“ Eh tunggu, bukannya elu tadi nangis kenceng banget ya?” Air muka Anis berubah semangat.
Gita mengangguk pelan.
“ Dan sekarang elu berhenti nangis setelah Kak Odzi nyamperin elu? Gue tahu Git!” Seru Anis hieteris, ia seolah baru memecahkan teka-teki dari suatu misteri.
Gita jadi semakin tak faham pada tingkah sahabat dekatnya itu. Namun diam-diam ia merasakan sebuah getaran aneh menelusup dalam hatinya, getar yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Odzi is your pray answer, gals…!” Pekik Anis tertahan.
“ Ssssttt…!!! Kenceng banget sih?Slow down please…” Gita mencoba meredakan kehisterisan Anis sebelum Gester melirik mereka dan mencari tahu apa yang baru saja terjadi.
Namun sekali lagi, ia akui atau tidak, jauh di sana dalam hatinya, gerbang yang selama ini pintunya ia tutup rapat-rapat itu mulai terbuka, tepat setelah getaran aneh beberapa detik lalu datang mengusiknya. Gita tersenyum tak faham.
“ Heh, lu kenapa senyam-senyum sendiri? Atau jangan-jangan… elu naksir Kak Odzi ya? Hayo…udahlah ngaku aja Git…” Goda Anis yang ternyata memperhatikan gerak-geriknya sedari tadi.
“ Ngawur! Mikirin aja nggak pernah apalagi naksir, ogah!” Bantah GIta mengelak.
“ Alah… itu kan cuma mulut lu aja yang ngomong, tapidalam hati uhuuiyy…!”
“Apaan sih, Nis. Mana mungkin gue naksir cowok yang dari dulu gue benci? Denger ya, Gita, will never love to someone others except Charlice!” Gita merengut.
“Tapi bener lho, Git. Gue rasa Kak Odzi adalah jawaban dari setiap do’a yang lu panjatin. ‘Cause, dia adalah orang yang pertama kali datang waktu pertama kali lu nangis di kelas ini, betulkan?” Anis serius.
Nafas Gita jadi tertahan sejenak karenanya. Ia memang selalu berdo’a seperti itu di dekat Anis. Posisinya yang baru saja difitnah Gaster habis-habisan membuatnya sampai kelepasan berdo’a seperti yang dikatakan Anis barusan. Gita merinding. Benarkah kehadiran Odzi saat ia menangis tadi merupakan jawaban dari do’anya? Tapi mengapa harus Odzi? Orang yang notabene sangat ia benci karena keangkerannya. Dan sebagai adik kelas yang baru kenal kakak kelasnya, sosok Odzi bagi Gita adalah serupa monster dalam film-film anak nan mengerikan. Odzi yang memiliki tampang tegas dengan rahang keras itu tampak semakin menakutkan dengan mata bercelak.
Siang ini Gita tersesat dalam tanya-tanya panjang. Ia bahkan tak sadar bahwa seharian ia terus memikirkan Odzi, cowok yang tak pernah ia bayangkan untuk pertemuan di tangis pertamanya.
***
“Eyang tidak akan pernah merestui hubungan kalian! Ingat, Kamu itu seorang Roro Ayu, Gita. Dan seorang Roro Ayu haram hukumnya menikah dengan bule! Harus dengan suku jawa asli, yang berarti adalah seorang keturunan ningrat juga. Ngerti kamu?!”
Gita menggigit bibirnya pahit.
Ingatannya terulang kembali. Lima setengah bulan lalu,kata-kata pedas eyangnya itu menghantam keras pertahanan cintanya dengan Charlice. Cinta yang selama dua belas tahun ia perjuangkan bersama asa yang belum pasti adanya.
Ia bertemu Charlice saat usianya masih tiga tahun. Pertemuan singkat namun membawa perubahan besar dalam jalan hidupnya. Cinta membuat seorang Roro Ayu Gita menjadi terbuka matanya. Menuntunnya menjelajahi dunia yang tak pernah ia jumpai selama ia hudup dalam sangkar besi raksasa, Joyodiningrat.
Hmmpphfff…
Ia mendengus keras. Hal yang terlalu sakit untuk kembali diingat. Semenjak hubungannya dengan Charlice tak direstui, Gita berubah menjadi seorang introvert. Gerbang hatinya ia tutup rapat-rapat sehingga tak ada seorang cowok pun berani mengusik kesendiriannya. Ia membuat sebuah keputusan besar untuk tidak akan membuka gerbang hatinya kembali, sebelum ada seorang malaikat yang mampu membukanya dengan satu hal berbeda.
Luka itu… belum sembuh total dalam hatinya sampai detik ini. Selalu ada rasa cemas, takut, ketika ia akan membuka gerbang hatinya kembali. Dan sekarang pun masih sama. Apa ini jatuh cinta atau bukan, ia merasa begitu takut. Ia akui, dua hari semenjak peristiwa itu, pikirannya tak pernah lepas dari sosok Odzie. Ia sendiri tak faham mengapa ia terlalu sering mengingat Odzie di hari-harinya. Padahal selama ini banyak cowok yang menawar cintanya, atau hanya sekedar mencari perhatiannya. Gita sendiri tak mengerti mengapa tiba-tiba Odzie mampu membuat hari-harinya menjadi penuh dengan bayang-bayang tak jelas.
Gita mengusap peluh yang mulai menitik di dahinya. Bosan, jenuh menanggapi hidup yang tak menentu arah dan misteri-misteri di baliknya. Tangannya meraih tombol walkman. Satu lagu mengalir pelan namun mampu terasa begitu menyentuh akan suasana hatinya saat ini
“Sebelumnya tak ada yang mampu
Mengajakku untuk bertahan, dikala sedih
Sebelumnya ku ikat hatiku hanya untuk aku seorang
Sekarang kau disini hilang rasanya
Semua bimbang tangis kesedihan
Kau buat aku bertanya,kau buat aku mencari
Tentang rasa ini, aku tak mengerti
Akankah sama jadinya, bila bukan kamu
Karena senyummu menyadarkanku
Kau cinta pertama dan terakhirku”
Gita tersenyum penuh arti.
***
Jantungnya berdegup kencang. Nafasnya memburu cepat. Ada yang mengambil diary nya! Tak henti kakinya melangkah, mencari siapa yang berani dan begitu lancang mengambil diary nya.
“ Via, lu tahu diary merah yang biasa gue bawa kemana-mana itu nggak?” Tanyanya dengan nafas berantakan. Via teman sebangkunya itu mungkin saja melihat orang yang telah mengambil diary nya. Tapi saat ini Via sedang serius ngobrol dengan temannya, alamat ia tak akan direspon.
Ia panik. Diary itu berisi curahan hatinya akhir-akhir ini. Semua tentang Odzie ada disitu.
“ Gita, lu tanya apa tadi? Diary merah?” Via menghentikan langkah kakinya yang hendak beranjak.
“ Di Kak Odzie”
Deg!!
Lututnya lemas seketika. Pandangan matanya mendadak kabur. Ya Tuhan…apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia malu. Malu yang teramat sangat, yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Tadi ia sempat berfikir bahwa gaster-lah yang mengambil diary nya. But…
“Gue harus ambil diary itu!” Katanya dalam hati.
Ia berlari menuju kelas 2 IPA. Dan benar saja, Odzie tengah membaca diary nya di pojok kelas seorang diri.
“ Odzie??” Gita berusaha mengatur nafas yang tersengal.
Reflek Odzie menoleh. Cowok itu tersenyum simpul sambil berdiri tepat di depannya. Menyerahkan kembali diary nya dengan ekspresi damai.
“ Nih gue balikin…” Odzie mengulurkan diary merahnya.
Gita sesak menahan antara marah, malu, canggung, semua bergemuruh jadi satu, menghentak-hentak ke seluruh penjuru arteri tubuhnya.
Tiba-tiba ia berlari kembali ke kelasnya. Hancur sudah apa yang selama ini mencoba ia tutupi dari Odzie. Perasaannya, Charlice, masa lalu, semua telah di baca Odzie.
“Git….!!” Seru Odzie ngos-ngosan.
Gita hnaya membisu.
“ Git, maafin gue kalau gue dah lancang liat diary lu. Nih gue balikin…” Odzie memelas.
Gita serentak mengambil diary nyadari tangan Odzie.
“ Sekali lagi, maafin gue, ya? Lu mau kan maafin gue?”
Gita tak menyahut. Ia beranjak ke tempat duduknya.
Teng! Teng! Teng!
Bel masuk berbunyi. Pelajaran berlangsung seru. Namun Gita masih tak dapat menahan rasa malunya pada Odzie. Ia tak faham mengapa Odzie sampai tahu dimana letak diary nya dan apa alasan Odzie Mengambil diary nya. Pelajaran masih berlangsung meski lima belas menit lagi bel tanda pulang sekolah akan berdentang. Dan ketika bel benar-benar berdentang untuk mengakhiri pelajaran, Gita kelabakan bingung. Toleh kanan-kiri, mencari disana sini. Diary nya hilang lagi!
***
“ Diary lu ada di tas gue. Ayo ikut ke kelas…”
Odzie, herrghh…! Dari mana ia bisa mengambil diary nya, sedangkan saat pelajaran berlangsung, dia tak melihat Odzie masuk kelasnya dan ia sendiri juga tidak pernah meninggalkan kelas barang sedetik.
Anehnya, pagi ini ia menurut saja waktu Odzie memintanya datang ke kelas 2 IPA. Begitu masuk, ia disambut siulan histeris teman sekelas Odzie. Ia sadar, posisi Odzie sebagai ketua kelas tentu membuat sensasi baru jika ada seorang cewekyang dekat dengan sosok the center of class itu. Apalagi dirinya masih kelas 1.
“ Sorry ya, kemarin gue pinjem lagi. Abis penasaran sih gimana lanjutannya..” Enteng, ringan, tenang. Padahal saat ini Gita sedang menahan kekesalan akut.
“ Dari mana dan gimana caranya lu bisa dapetin diary itu lagi?” Selidik Gita.
“ Dari teman sebangku lu, Via” Odzie menyerahkan diary nya kembali.
“ Vi…Via ??” Ia memastikan.
“ Iya Via. Tapi gue yang maksa dia buat ngambil diary lu…”
Sekali lagi jawaban Odzie yang enteng itu membuatnya semakin kesal, tapi juga malu.
“ Git…” Odzie duduk di hadapannya.
Gita jadi deg-degan. Getaran itu muncul lagi dengan ritme yang lebih cepat. Tanpa sadar pipinya memerah, malu.
“ Lu salah kalau lu tulis di diary itu gue udah punya honey. Itu Cuma kedok gue aja supaya cewek-cewek yang naksir gue pergi. Dan supaya gue bisa belajar dengan tenang” terang Odzie. Mata cowok itu menatapnya lekat-lekat. Gita mengalihkan pandangan.
“ Trus kenapa lu bilang gitu ama gue, maksudnya apa?”
“ Ya biar lu tahu kalau sebenarnya gossip tentang gue punya cewek itu salah” Jawab Odzie mantap.
Ada sebetik kelegaan hadir di hati Gita. Rasa lega yang aneh saat ia mendengar keterangan Odzie.
“ Tentang feeling lu ke gue itu, kita jalani dulu aja deh. Yang jelas gue nggak mau pacaran sebelum cita-cita gue kesampaian” Tambah Odzie lagi.
“ Ya siapa juga yang ngajak lu pacaran. Denger ya, gue itu anti pacaran. Jadi sekalipun gue cinta ama lu, gue tetep nggak mau pacaran. See ?” Gita menimpali.
Odzie tersenyum penuh makna.
“ Jadi sekarang lu udah ngakuin kalau lu suka am ague” Goda Odzie.
“ Apaan sih…GR banget…” Kilah Gita denagn senyum yang sukar diartikan.
Senyum pertama dalam kesendiriannya. Senyum yang menguatkannya untuk tetap bertahan di yayasan dengan segala resikonya. Senyum yang mencuat karena gerbang hatinya telah benar-benar terbuka kembali. Dan senyum lantaran ia akan terus menjaga embun jawaban dari do’anya selama ini, Odzie…